Berandasehat.id – Saat ini, diabetes tipe 2 mempengaruhi lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia. Angka ini diprediksi akan meningkat menjadi lebih dari 700 juta pada tahun 2045.

Peneliti Guy Rutter dan rekannya di Eropa, Kanada, dan Amerika Serikat telah menemukan molekul dalam sampel yang diambil dari 3.000 pasien diabetes yang dapat membantu mempersonalisasi perawatan.

Studi itu dilakukan sebagai bagian dari proyek RHAPSODY Eropa (Penilaian Risiko dan Perkembangan Diabetes). RHAPSODY adalah proyek kolaborasi yang melibatkan lebih dari 100 ilmuwan yang mewakili 20 institusi akademik, 5 perusahaan farmasi, dan 2 usaha kecil dan menengah.

Tim Guy Rutter, peneliti di CHUM Research Center (CRCHUM) dan di Imperial College London serta seorang profesor di Université de Montréal, berkolaborasi dengan tim Ewan R. Pearson (University of Dundee) dan Leen M’t Hart (Pusat Medis Universitas Leiden). Tim M’t Hart termasuk Roderick C. Slieker, penulis pertama studi tersebut.

Diterbitkan dalam jurnal Nature Communications, studi mereka menjelaskan molekul baru yang dapat membantu tim klinis memprediksi dan memantau penurunan metabolisme glukosa.

“Dalam studi kami memilih untuk secara sistematis menguji biomarker (penanda biologis) untuk perkembangan diabetes. Mereka termasuk dalam tiga kelas molekul yang sangat berbeda: molekul bermuatan kecil (metabolit), lipid dan protein,” jelas Rutter dikutip laman MedicalXpress.

Guy Rutter, peneliti di Centre de recherche du CHUM (CRCHUM), Imperial College London dan profesor di Departemen Kedokteran di Université de MontréalBerkat uji molekuler canggih yang dilakukan pada sampel darah dari 3.000 individu dari tiga kohort di Eropa dan satu di AS, para ilmuwan dapat menemukan bahwa sekitar 20 molekul, terdiri 9 lipid, 3 metabolit, dan 11 protein, berhubungan dengan perkembangan penyakit yang cepat.

Di antara 1.300 protein yang diuji, protein NogoR menonjol dari yang lain.

Untuk mengkonsolidasikan temuan ini, Rutter dan timnya menguji dampak peningkatan kadar darah NogoR pada metabolisme tikus yang dimodifikasi secara genetik.

“Dengan menyuntikkan tikus yang diberi diet tinggi lemak/tinggi gula, kami meningkatkan toleransi glukosa mereka. Pada tikus db/db, model tikus diabetes tipe 2, kami memperburuk sensitivitas insulin mereka, yaitu kemampuan mereka untuk mengatur kadar gula darah,” jelas Rutter.

“Dengan menyoroti jalur pensinyalan dan mekanisme yang terlibat, kita mungkin dapat menghambat protein yang membunuh sel pankreas yang bertanggung jawab untuk sekresi insulin, sehingga memperlambat perkembangan diabetes,” imbuhnya.

Peneliti CRCHUM dan timnya sudah mengerjakannya. “Kami juga terkejut melihat bahwa biomarker untuk perkembangan diabetes yang kami identifikasi sama dengan yang terkait dengan risiko diabetes. Ini menunjukkan bahwa proses biologis yang sama beroperasi pada kedua kasus tersebut,” kata Rutter.

Suatu saat dalam waktu dekat, peneliti ingin tim klinis dapat dengan cepat dan murah menguji biomarker baru ini menggunakan setetes darah untuk memprediksi perkembangan penyakit dengan lebih baik. Untuk melakukannya, mereka harus menunggu beberapa perkembangan teknologi. (BS)