Berandasehat.id – Kebanyakan wanita dengan kanker ovarium didiagnosis dengan bentuk penyakit yang paling lanjut. Kurang dari sepertiga dari mereka yang didiagnosis menderita penyakit ini bertahan hidup lima tahun kemudian. Sebagai jenis kanker ginekologi ketiga yang paling umum, kanker ovarium menyebabkan lebih dari 200.000 kematian yang dilaporkan secara global pada tahun 2020 saja, menurut sebuah penelitian baru-baru ini.
Studi terkini menghubungkan indeks massa tubuh (BMI) tinggi dengan perubahan struktur dan lingkungan tumor kanker. Sebuah penelitian yang diterbitkan di Journal of Experimental & Clinical Cancer Research, para peneliti Universitas Notre Dame yang bekerja sama dengan Laboratorium NeoGenomics telah menjelaskan satu faktor kunci yang dapat membuat kanker ovarium sangat mematikan, yakni obesitas atau kegemukan, demikian dikutip laman MedicalXpress.
Obesitas, yang dianggap sebagai pandemi tidak menular, diketahui meningkatkan risiko kanker ovarium dan menurunkan kemungkinan bertahan dari penyakit tersebut.
Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh M. Sharon Stack, Direktur Ann F. Dunne dan Elizabeth Riley Harper Cancer Research Institute Notre Dame, dan Anna Juncker-Jensen, ilmuwan senior dan direktur urusan ilmiah di NeoGenomics, ingin memahami mengapa obesitas membuat kanker ovarium lebih mematikan.
Para peneliti menganalisis jaringan tumor kanker dari pasien kanker ovarium. Mereka lantas membandingkan jaringan pasien dengan indeks massa tubuh (BMI) tinggi dengan mereka yang memiliki BMI lebih rendah, dan dua perbedaan penting menonjol.

Pada pasien kanker dengan BMI lebih tinggi dari 30 (kisaran obesitas ditentukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit/CDC), para peneliti menemukan pola tertentu dalam jenis sel kekebalan yang mengelilingi tumor kanker.
Mereka menemukan perubahan populasi sejenis sel kekebalan, yang disebut makrofag, menyusup ke tumor yang biasanya dikaitkan dengan stadium kanker yang lebih lanjut dan kelangsungan hidup yang buruk.
Tumor kanker pada pasien obesitas juga dikelilingi oleh jaringan fibrosa yang lebih kaku yang diketahui membantu tumor melawan pengobatan dengan kemoterapi. Tim juga dapat mengonfirmasi temuan mereka dengan mengamati pola serupa pada tikus yang mengandung kanker ovarium yang diberi diet tinggi lemak.
Stack, yang juga menjabat sebagai Profesor Kimia dan Biokimia Kleiderer-Pezold di College of Science di Notre Dame, menekankan bahwa penelitian ini menawarkan harapan untuk perawatan yang lebih baik karena prevalensi obesitas meningkat di seluruh dunia.
“Data kami memberikan gambaran yang lebih rinci tentang bagaimana dan mengapa obesitas dapat mempengaruhi perkembangan tumor ovarium dan respons terapeutik terhadap kanker, kata Stack. “Kami berharap temuan ini akan mengarah pada strategi baru untuk terapi bertarget yang dapat meningkatkan hasil bagi pasien kanker ovarium.” (BS)