Berandasehat.id – Selama pandemi COVID-19, angka notifikasi kasus tuberkulosis (TB) turun sebesar 26%, dan angka cakupan pengobatan berkurang sebesar 11%. Meski demikian, tidak ada peningkatan yang signifikan pada kematian semua penyebab, dibandingkan dengan periode sebelum pandemi, demikian menurut penelitian yang memaparkan analisis nasional yang komprehensif dari keterkaitan COVID-19 dan epidemi TB di Indonesia.

Penelitian yang dipublikasikan di The Lancet Global Health tersebut juga memaparkan bahwa dampak terhadap program pengendalian TB nasional paling terasa di kabupaten/kota dengan kasus COVID-19 tertinggi dan sumber daya layanan kesehatan terendah. Dalam hal ini terutama menyangkut kemampuan diagnostik TB, serta jumlah dokter dan puskesmas yang terbatas. Ketiga hal tersebut merupakan komponen utama dalam tata kelola TB dan COVID-19.

Studi bertajuk ‘“Impact of the COVID-19 Pandemic on Tuberculosis Control in Indonesia: A Nationwide Longitudinal Analysis of Programme Data” itu menyoroti dampak buruk pandemi COVID-19 terhadap pengendalian tuberkulosis (TB) di Indonesia, negara dengan beban TB tertinggi kedua secara global dan beban COVID-19 tertinggi kedua di kawasan Asia.

Artikel itu melaporkan hasil penelitian kolaborasi antara para peneliti dari Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sub-Direktorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Monash University, Indonesia, dan Radboud University Medical Center Belanda.

Ilustrasi kuman TB (dok. ist)

Disampaikan Dr Henry Surendra, Epidemiolog di Oxford University Clinical Research Unit (OUCRU) Indonesia dan Associate Professor di Monash University Indonesia sebagai penulis utama menyampaikan salah satu kekuatan dari penelitian ini adalah penggunaan data surveilans nasional untuk TB dan COVID-19, ditambah dengan indikator pembangunan manusia dan kapasitas sistem kesehatan pada 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia dengan jumlah populasi keseluruhan lebih dari 275 juta orang. “Dari data tersebut ditemukan bahwa kebutuhan terbesar untuk meningkatkan resiliensi sistem kesehatan ada pada kabupaten/kota yang paling rentan terdampak oleh pandemi,” ujarnya.

Penelitian itu memberikan rekomendasi bagi para pembuat kebijakan dan praktisi kesehatan yang berupaya memitigasi kedua epidemi itu, termasuk menjadi acuan untuk melakukan investasi struktural lebih lanjut dalam kesiapsiagaan sistem kesehatan, termasuk akses ke layanan kesehatan berkualitas, untuk menuju sistem kesehatan lokal yang resilien menghadapi kejadian-kejadian seperti pandemi COVID-19 lalu.

Kepala Clinical Infectious Disease Programme dan peneliti senior OUCRU Indonesia, Dr Raph Hamers, menambahkan, dalam konteks Indonesia, ada beberapa faktor kompleks yang mungkin memperburuk layanan penemuan kasus dan pengobatan TB selama pandemi COVID-19. Hal itu di antaranya terkait  tingginya laju infeksi dan kematian terkait COVID-19 pada tenaga kesehatan, perubahan perilaku masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan dan pembatasan sementara dalam mengakses layanan kesehatan, serta terganggunya respons imun tubuh pasien terhadap kedua patogen tersebut.

Sedangkan Prof.dr. Ari Fahrial Syam, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyebut penelitian ini membantu kita memahami kerusakan pada sistem kesehatan di Indonesia yang terjadi akibat dari pandemi COVID-19. “Terlepas dari dampaknya pada penanganan TB, kami mendapatkan informasi tentang adanya kebutuhan untuk meningkatkan ketersediaan GeneXpert, pusat kesehatan masyarakat, dan dokter secara merata di seluruh negeri,” ujarnya.

Dr Erlina Burhan, Pakar TB dari FKUI, Ketua Gugus Tugas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia dan Ketua Koalisi Organisasi Profesi Melawan TB Indonesia mengatakan, ada pelajaran yang kita dapatkan dari COVID-19, termasuk kolaborasi, inovasi, intervensi dan implementasi, dapat langsung diterapkan dalam pengendalian TB. “Banyaknya data TB yang tersedia sekarang dapat digunakan untuk meningkatkan intervensi berbasis bukti untuk tata kelola dan pengendalian TB di Indonesia, bergerak menuju eliminasi TB pada tahun 2030,” bebernya.

Kepala Tim Kerja TB di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dan salah satu kontributor pada penelitian ini, Dr Tiffany Pakasi, menekankan bahwa studi itu menggarisbawahi pentingnya analisa sub-nasional yang kuat dan berskala besar terhadap database pasien di negara-negara dengan beban TB tinggi, untuk lebih memahami implikasi langsung dari pandemi COVID-19 terhadap program pengendalian TB nasional.”

Penelitian tersebut didanai oleh Wellcome Africa Asia Program Vietnam. Penulis studi termasuk Henry Surendra PhD, Iqbal RF Elyazar DPhil, Evelyn Puspaningrum BPH, Deddy Darmawan BPH, Tiffany T Pakasi MD, Endang Lukitosari MD, Sulistyo Sulistyo MEpid, Shena M Deviernur BPH, Ahmad Fuady PhD, Prof Guy Thwaites MD, Prof Reinout van Crevel MD, Anuraj H Shankar ScD, Prof J Kevin Baird PhD, Raph L Hamers MD. (BS)