Berandasehat.id – Bahkan bagi sel T pembunuh, yakni sel kekebalan khusus mencari dan menghancurkan sel kanker sepanjang waktu, bisa sangat melelahkan. Jika para ilmuwan dapat memahami mengapa sel T pembunuh habis, maka mereka dapat menciptakan sel pembunuh kanker yang lebih tangguh.
Dalam sebuah studi baru, para ilmuwan Salk Institute menemukan hubungan antara kelelahan sel T pembunuh dan tanggapan stres simpatik tubuh (lawan atau lari) di berbagai jenis kanker pada sampel jaringan tikus dan manusia. Tim juga menemukan bahwa interaksi antara sel T pembunuh dan hormon respons stres simpatik dapat dihambat dengan beta-blocker, yakni kelas obat yang sudah digunakan pada manusia untuk mengendalikan tekanan darah dan detak jantung untuk menciptakan sel T pembunuh yang lebih mampu melawan tumor dengan efisien.
Temuan yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 20 September 2023 membangun hubungan baru antara respons stres simpatik dan cara sistem kekebalan merespons kanker. Selain itu, tim peneliti menunjukkan manfaat menggabungkan beta-blocker dengan imunoterapi yang ada untuk meningkatkan pengobatan kanker dengan memperkuat fungsi sel T pembunuh.
“Tidak diragukan lagi imunoterapi telah merevolusi pengobatan pasien kanker, sayangnya ada banyak pasien yang tidak efektif menggunakan metode itu,” kata Profesor Susan Kaech, penulis senior dan direktur Pusat Imunobiologi dan Patogenesis Mikroba NOMIS di Salk. “Menemukan bahwa sistem saraf kita dapat menekan fungsi sel kekebalan yang menghancurkan kanker membuka cara baru untuk memikirkan cara meremajakan sel T pada tumor.”

Sistem saraf simpatik bertanggung jawab untuk memediasi respons stres tubuh, yang juga dikenal sebagai respons ‘lawan atau lari’. Namun, sedikit yang diketahui tentang bagaimana saraf mengatur respons imun terhadap infeksi atau kanker.
Para peneliti fokus pada saraf simpatik yang mempersarafi organ manusia dan menghasilkan hormon pembawa pesan noradrenalin, yang juga merupakan hormon stres. Para ilmuwan menggunakan berbagai model kanker dan penyakit kronis pada tikus dan sampel jaringan manusia untuk mempelajari kapan dan bagaimana sel T pembunuh dipengaruhi oleh saraf simpatis.
Mereka menemukan bahwa saraf simpatis memproduksi noradrenalin, yang mengikat sel T pembunuh menggunakan reseptor yang disebut ADRB1. Sel T pembunuh yang ‘kelelahan’ mengekspresikan lebih banyak reseptor ADRB1 dibandingkan sel fungsionalnya, sehingga memungkinkan sel T untuk ‘mendengarkan’ noradrenalin yang dilepaskan oleh saraf.
Untuk menguji apakah ‘kelelahan’ sel T pembunuh dapat dicegah, para peneliti menguji dua pendekatan untuk menghentikan interaksi noradrenalin dan ADRB1: menghilangkan ADRB1 sama sekali atau merusak fungsi ADRB1 dengan beta-blocker, yang menghasilkan sel T pembunuh yang lebih fungsional dan lebih baik dalam menghancurkan sel kanker.
Para penulis juga menemukan bahwa sel T yang habis tidak hanya mendengarkan saraf dari jauh, namun juga berkumpul di sekitar saraf dalam jaringan. Yang mengejutkan, reseptor ADRB1 memberi sel T instruksi penting untuk bermigrasi ke dekat saraf, yang pada gilirannya menekan fungsinya, hal itu membuat sel T bekerja lebih buruk dalam melawan kanker.
“Persarafan tumor adalah bidang imunologi tumor yang belum banyak dipelajari. Penelitian kami kini mengungkap bahwa saraf berkontribusi terhadap proses habisnya sel T pada tumor, di mana sel T menjadi rusak dan kurang kuat dalam melawan tumor seiring berjalannya waktu,” kata penulis pertama Anna-Maria Globig, seorang peneliti postdoctoral di laboratorium Kaech.
“Jika kita bisa mengungkap rincian bagaimana saraf menekan respons imun tubuh terhadap kanker dan mengapa sel T yang habis berpindah ke saraf, kita bisa mulai menargetkan proses ini secara terapeutik,” imbuh Globig.
Menurut Kaech, para peneliti berharap dapat memperluas pemahaman mereka tentang lingkungan sel T pembunuh yang terkuras untuk mempelajari lebih lanjut mengapa stres membuat kita lebih sakit.
“Kami dapat menemukan jalur baru yang dapat ditargetkan dengan beta-blocker untuk menciptakan sel T pembunuh yang lebih tangguh yang tahan terhadap kelelahan dan melawan kanker dengan lebih baik,” kata Globig.
Karena beta-blocker sudah digunakan secara klinis, tim juga berharap untuk segera menerapkan rejimen melawan kanker yang mereka usulkan pada pasien penderita kanker paru. Bermitra dengan dokter, mereka berharap dapat mempelajari lebih banyak sampel jaringan kanker manusia untuk memperkaya temuan tersebut dan memberikan bukti lebih lanjut mengenai kemanjuran penghambat beta dalam pengobatan kanker, demikian laporan MedicalXpress. (BS)