Berandasehat.id – Setelah terinfeksi COVID-19, orang-orang cenderungmemiliki risiko lebih tinggi terkena kelainan jaringan ikat autoimun dan autoperadangan seperti alopecia, penyakit Crohn, psoriasis, dan vitiligo. Namun vaksinasi menurunkan risiko itu, menurut penelitian dari Korea Selatan, yang diterbitkan di JAMA Network Open.
Para peneliti mengamati informasi lebih dari 350.000 pasien COVID-19 antara Oktober 2020 hingga Desember 2021. Mereka juga menggunakan kelompok kontrol yang berjumlah lebih dari 6,1 juta orang. Usia rata-rata pada kedua kelompok adalah 52 tahun. Responden dibagi rata berdasarkan jenis kelamin.
“Risiko penyakit tertentu menunjukkan hubungan positif dengan tingkat keparahan COVID-19,” tulis para peneliti. “Kemungkinan hubungan antara COVID-19 dengan penyakit autoimun… telah dikemukakan, karena SARS-CoV-2 tampaknya mengganggu toleransi diri dan memicu reaksi autoimun melalui reaktivitas silang yang dapat mengarah pada perkembangan penyakit autoimun.”
Pasien COVID-19 memiliki risiko yang jauh lebih tinggi terhadap alopecia areata, alopecia totalis, vaskulitis terkait antibodi sitoplasma antineutrofil, penyakit Crohn, dan sarkoidosis, menurut laporan CIDRAP dari Universitas Minnesota.

Pola kebotakan alopecia aerata (dok. ist)
“Risiko alopecia totalis, psoriasis, vitiligo, vaskulitis, penyakit Crohn, kolitis ulserativa, artritis reumatoid, penyakit Still yang menyerang orang dewasa, sindrom Sjogren, ankylosing spondylitis, dan sarkoidosis dikaitkan dengan peningkatan keparahan COVID-19,” tulis CIDRAP.
Penulis studi menyampaikan temuan ini menunjukkan bahwa gangguan jaringan ikat autoimun dan autoperadangan mungkin muncul setelah infeksi COVID-19, sehingga menyoroti potensi dampak kesehatan jangka panjang yang terkait dengan COVID-19.
Penatalaksanaan jangka panjang harus mencakup evaluasi gangguan tersebut pada pasien yang menderita COVID-19.
Beberapa keterbatasan penelitian ini mencakup populasi utama orang dewasa dan sampel seluruhnya terdiri dari orang Asia, sehingga membatasi kemampuan generalisasi temuan ini pada kelompok etnis lain dan remaja/anak-anak, menurut News Medical. Para peneliti tidak dapat menentukan apakah beberapa individu lebih rentan terhadap autoimunitas dibandingkan yang lain. (BS)