Berandasehat.id – Hati-hati bagi yang suka mengonsumsi makanan yang sangat diolah. Studi baru menemukan bahwa orang yang mengonsumsi lebih banyak makanan ultra-olahan – terutama pemanis buatan dan minuman dengan pemanis buatan – berisiko lebih tinggi terkena depresi.

Makanan ultra-olahan adalah makanan padat energi dan siap santap termasuk daging olahan untuk sarapan, makanan ringan kemasan, dan es krim serta minuman dengan pemanis buatan. Pemanis buatan, juga merupakan makanan ultra-olahan, mencakup hal-hal seperti aspartam, sukralosa, dan sakarin.

“Apa yang kami temukan adalah mengonsumsi makanan ultra-olahan dalam jumlah tinggi dapat meningkatkan risiko terkena depresi hingga 50%,” kata Raaj Mehta, MD, MPH, salah satu penulis studi dan ahli gastroenterologi di Rumah Sakit Umum Massachusetts di Boston dikutip WebMD. “Studi ini menambah kekhawatiran tentang jenis makanan ini.”

“Alasan mengapa hal ini sangat penting adalah karena masyarakat tidak selalu sadar akan hubungan antara nutrisi, pola makan, dan kesehatan mental, jadi menurut saya hal ini dapat mendorong para dokter untuk mulai membicarakan tentang apa yang Anda alami. makan sebenarnya berpotensi mempengaruhi perasaan,” ujar Mehta.

Ia mengatakan karena penelitian ini bersifat observasional – yaitu penelitian yang melihat data yang telah dikumpulkan – tim peneliti tidak dapat mengatakan bahwa makanan olahan menyebabkan depresi. Meski begitu, menurut dia  datanya kuat. “Kami dapat menyesuaikan sejumlah variabel perancu dalam analisis kami untuk menunjukkan bahwa mengonsumsi lebih banyak makanan ultra-olahan benar-benar dapat meningkatkan risiko depresi,” paparnya.

Ilustrasi makanan olahan (dok. dreamstime)

Mehta mengatakan dia ingin melakukan penelitian untuk memeriksa ‘poros usus-otak’ yang dia gambarkan sebagai ‘jalan raya dua arah antara usus dan otak’.

“Kami melihat literatur dan menyadari ada beberapa data bahwa pola makan mempengaruhi risiko depresi, namun pada akhirnya kami tidak mengetahui makanan spesifik mana yang bertanggung jawab,” terang Mehta.

Makanan ultra-olahan telah dikaitkan dengan kondisi kesehatan mulai dari penyakit jantung dan pembuluh darah hingga demensia hingga kanker, kata Mehta, namun sebenarnya tidak banyak bukti mengenai risiko depresi.

Untuk itu, para peneliti melakukan analisis menggunakan Nurses’ Health Study II antara tahun 2003 dan 2017 terhadap 31.712 wanita paruh baya yang tidak mengalami depresi pada awal penelitian. Mereka mengamati pola makan pasien setiap 4 tahun menggunakan survei makanan.

Dalam analisis selanjutnya, mereka mengelompokkan makanan ultra-olahan ke dalam subkelompok seperti makanan biji-bijian ultra-olahan, makanan siap saji, produk susu olahan, makanan ringan manis, minuman dan pemanis buatan,dan sebagainya.

Mereka memperhitungkan kemungkinan faktor risiko depresi lainnya, termasuk merokok, tingkat olahraga, indeks massa tubuh (BMI), penggunaan alkohol, total asupan energi, penyakit lain yang diderita orang-orang dalam penelitian ini, dan banyak lagi. Penulis mengevaluasi hubungan antara perubahan konsumsi ultra-olahan yang diperbarui setiap 4 tahun dan tingkat depresi.

Para peneliti menemukan bahwa wanita yang mengonsumsi banyak makanan ultra-olahan juga memiliki BMI, tingkat merokok, tingkat diabetes dan hipertensi yang lebih tinggi; dan cenderung tidak berolahraga secara teratur.

Selama periode 15 tahun, ditemukan 2.122 kasus depresi menggunakan definisi depresi yang ketat dan 4.840 menggunakan definisi yang lebih luas.

Penulis kemudian meneliti hubungan antara kategori tertentu makanan ultra-olahan dan risiko depresi. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya minuman dengan pemanis buatan dan pemanis buatan yang dikaitkan dengan risiko depresi yang lebih tinggi.

Studi ini telah  dipublikasikan di JAMA Network Open. (BS)