Berandasehat.id – Kecanduan ponsel cerdas tampaknya meluas di sebagian besar dunia, berdasarkan penelitian baru dari Universitas Toronto. Temuan yang paling konsisten menunjukkan bahwa di antara 41 negara dengan setidaknya 100 peserta, perempuan mendapat skor lebih tinggi dibandingkan laki-laki dalam masalah penggunaan ponsel cerdas. Hal itu berbanding terbalik dengan usia. Artinya, semakin tua usia pengguna, maka semakin kecil kemungkinan mereka mengalami masalah penggunaan smartphone.
Tim peneliti termasuk rekan pascadoktoral U of T Mississauga, Jay Olson dan siswa Ph.D U of T Scarborough Ph.D. Dasha Sandra telah mengumpulkan kumpulan data terbesar dalam penelitian apa pun mengenai penggunaan ponsel cerdas. Riset yang diterbitkan di International Journal of Mental Health and Addiction ini melibatkan pengumpulan tanggapan survei dari 50.423 peserta berusia 18 hingga 90 tahun di 195 negara.
“Kami tidak mengharapkan konsistensi yang kuat seperti ini,” kata Olson tentang data tersebut.
Karena mencakup begitu banyak negara di beberapa benua, data tersebut juga memungkinkan peneliti mengidentifikasi pola geografis. Skor penggunaan bermasalah tertinggi ditemukan di Asia Tenggara, sedangkan skor terendah ditemukan di Eropa.
Olson mengatakan hasil ini menimbulkan pertanyaan mendasar di lapangan. Mengapa perempuan terbukti mempunyai tingkat penggunaan ponsel pintar bermasalah yang lebih tinggi? Ada apa dengan generasi muda yang meningkatkan kemungkinan mereka mengalami masalah penggunaan narkoba? Dan apa perbedaan sosial dan budaya dari satu negara ke negara lain yang mempengaruhi hasil ini?
Peserta survei menjawab pertanyaan berdasarkan Skala Kecanduan Ponsel Cerdas, sebuah ukuran yang banyak digunakan untuk mempelajari masalah penggunaan ponsel cerdas di lapangan.

Olson berpendapat bahwa tingginya penggunaan ponsel bermasalah di kalangan perempuan mungkin ada hubungannya dengan cara masing-masing gender dalam menggunakan ponsel pintarnya. “Para peneliti berpendapat perempuan cenderung menggunakan ponsel mereka lebih banyak untuk alasan sosial, komunikasi dengan teman dan keluarga melalui media sosial,” katanya.
Jenis penggunaan yang berkaitan dengan validasi sosial (misalnya fitur ‘suka’ di Instagram) adalah jenis penggunaan yang dapat membangun kebiasaan dengan sangat cepat.
“Bukan berarti pria tidak menggunakan ponselnya untuk alasan sosial. Namun mereka cenderung kurang menggunakan fungsi sosial, seperti memposting foto selfie, mengikuti obrolan grup, berhubungan dengan keluarga, atau mengikuti pemengaruh (influencer),” kata Olson.
Tim peneliti bertujuan untuk menguji hipotesis ini sambil terus menganalisis data.
Penggunaan yang bermasalah juga dapat mencerminkan kesusahan atau penderitaan yang dialami individu. “Orang-orang berusaha menghindari emosi negatif dengan menggunakan ponsel mereka,” kata Olson.
Perbedaan gender dan usia dapat dikaitkan dengan perbedaan tingkat kesusahan.
Penelitian ini juga menjelaskan perbedaan budaya antara berbagai negara. Dengan menggunakan indeks ‘keketatan budaya’ dan ‘kelonggaran budaya’ penelitian ini mencoba melihat data melalui berbagai norma sosial di seluruh dunia.
Perbedaannya juga dapat dilakukan dengan mengkaji budaya kolektivis, yang mengutamakan hubungan kelompok, dibandingkan budaya individualis.
Hipotesis peneliti adalah ketatnya norma sosial berperan dalam penggunaan ponsel pintar. “Dalam budaya individualistis, Anda tidak diharapkan menelepon keluarga setiap hari,” Olson memberikan contoh.
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah dari mana peserta mendapatkan waktu layarnya.
“Beberapa negara tidak lagi memiliki laptop dan komputer desktop secara luas,” kata Olson. Hal itu menggambarkan sebuah ‘lompatan’ di mana negara-negara mengembangkan industri telekomunikasi dan telepon pintar menjadi perangkat komputasi utama masyarakat dibandingkan dengan negara-negara yang telah mengembangkan industri telekomunikasi sebelum telepon pintar.
“Ini menjelaskan beberapa perbedaan dalam waktu pemakaian perangkat,” kata Olson. Misalnya, Eropa, yang mencatat tingkat penggunaan bermasalah yang paling rendah, telah menggunakan internet sejak pertama kali hadir di komputer pribadi pada tahun 1980an dan 1990an.
Sementara Asia Tenggara, yang mencatat tingkat penggunaan internet bermasalah tertinggi, mengalami adopsi internet melalui ponsel pintar secara luas hanya dalam 15 tahun terakhir.
Tidak Semua Penggunaan Smartphone Bermasalah
Namun tidak semua penggunaan ponsel pintar menimbulkan masalah, kata Olson, karena hal ini sangat bergantung pada cara seseorang menggunakan ponselnya.
“Seorang manajer media sosial dapat mencatat delapan jam waktu pemakaian perangkat dalam sehari, namun hal ini tidak serta merta menimbulkan efek masalah pada hidupnya jika dibandingkan dengan seseorang yang menggunakan ponselnya selama setengah jam dari tengah malam hingga pukul 00.30 dan mengganggu waktu tidur,” terangnya.
Tim peneliti berencana menjalankan survei versi jangka panjang untuk melacak penggunaan ponsel pintar dari waktu ke waktu, yakni akankah tingkat kecanduan meningkat, atau malah stagnan. Tim ini juga sedang mempertimbangkan untuk mengembangkan intervensi berbasis kebiasaan untuk penggunaan ponsel cerdas yang bermasalah, data semacam ini sangat penting.
“Ini merupakan eksperimen global,” kata Olson. “Ponsel pintar menjadi populer sekitar tahun 2008 dan kami hanya memantau dampaknya secara global.” (BS)