Berandasehat.id – Ancaman terhadap meningkatnya infeksi yang resistensi obat menguat menyusul peresepan krim antijamur yang masif untuk mengatasi keluhan masalah kulit.
Ada infeksi jamur superfisial yang resisten terhadap antimikroba, yang baru-baru ini terdeteksi di Amerika Serikat, menurut sebuah tim yang dipimpin oleh Jeremy Gold, peneliti di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC). Salah satu ancaman terbesar yang muncul adalah bentuk kurap (dermatofitosis) yang resisten terhadap obat.
Di Asia Tenggara, pernah terjadi wabah besar berupa ruam berbentuk lingkaran dan gatal yang tidak memberikan respons terhadap krim atau pil antijamur oles. Kasus kurap yang kebal terhadap obat kini juga ditemukan di 11 negara bagian AS, menurut temuan tim Gold. “Ini menyebabkan pasien mengalami lesi yang luas dan keterlambatan diagnosis,” kata tim tersebut dikutip Healthday.
Seperti yang terlihat pada penggunaan antibiotik yang berlebihan, jamur secara alami akan membangun resistensi terhadap obat antijamur jika semakin sering digunakan. Tim CDC percaya bahwa krim oles antijamur diresepkan secara berlebihan.
Melihat data Medicare Part D tahun 2021, mereka menemukan bahwa 6,5 juta resep krim yang mengandung antijamur, seperti ketoconazole, nistatin, dan klotrimazol-betametason, diresepkan pada tahun itu.
Dari segi jumlah, dokter layanan primer memberikan persentase terbesar dari resep-resep ini, namun dokter kulit dan ahli penyakit kaki mempunyai persentase yang jauh lebih tinggi berdasarkan resep per dokter.
Salah satu masalah besarnya, menurut tim Gold, adalah kebanyakan dokter mendiagnosis suatu kondisi kulit hanya dengan melihatnya, sebuah metode yang sering kali salah, bahkan di kalangan dokter kulit bersertifikat.
Tim menemukan, tes diagnosis konfirmasi terhadap lesi kulit alih-alih hanya melihatnya, jarang dilakukan.

Sebagian kecil dokter meresepkan obat antijamur dengan harga yang sangat tinggi. Pada tahun 2021, 10 persen dari resep antijamur meresepkan hampir setengah dari obat-obatan ini, menurut temuan kelompok Gold.
Peneliti menekankan, studi baru ini mungkin hanya menangkap sebagian kecil dari penggunaan antijamur yang berlebihan, karena sebagian besar antijamur oles dapat dibeli tanpa resep.
Tingginya penggunaan klotrimazol-betametason khususnya, diduga menjadi faktor besar munculnya kurap yang resisten terhadap obat. Obat ini (kombinasi steroid dan antijamur) juga dapat memicu kerusakan kulit jika diterapkan pada area intertriginosa, yaitu area di mana kulit terlipat, seperti di sekitar selangkangan, bokong, dan ketiak.
Tim Gold memgingatkan, penggunaan klotrimazol-betametason dalam jangka panjang dan ekstensif juga dapat memicu masalah hormonal.
Intinya, menurut tim CDC, penyedia layanan kesehatan harus bijaksana dalam meresepkan antijamur oles untuk dugaan infeksi jamur pada kulit, dan melakukan lebih dari sekadar diagnosis visual jika memungkinkan.
Dokter juga harus mencoba untuk mendidik pasien tentang penggunaan antijamur oles dan kombinasi antijamur-kortoikosteroid yang benar guna membantu mengurangi resep berlebihan dan bahaya penyakit jamur yang resisten terhadap obat.
Temuan ini dipublikasikan di jurnal CDC Morbidity and Mortality Weekly Report edisi 11 Januari 2024. (BS)