Berandasehat.id – Gaya hidup dan genetika, serta sejumlah faktor lain di dalam dan di luar kendali kita, diketahui berkontribusi terhadap perkembangan sindrom metabolik, yaitu sekelompok kondisi yang menambah peningkatan risiko masalah kesehatan serius.
Studi baru menemukan bahwa stres – karena kecenderungannya untuk memicu peradangan dalam tubuh – juga dikaitkan dengan sindrom metabolik.
Stres adalah kontributor penting terhadap beberapa dampak kesehatan negatif seiring bertambahnya usia, menurut penulis senior Jasmeet Hayes, profesor psikologi di The Universitas Negeri Ohio. “Ada banyak variabel yang mempengaruhi sindrom metabolik, ada yang tidak bisa kita modifikasi, tapi ada yang bisa kita modifikasi. Semua orang mengalami stres,” kata Hayes.
Menurutnya, manajemen stres adalah salah satu faktor yang dapat dimodifikasi dan hemat biaya serta sesuatu yang dapat dilakukan orang dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus melibatkan profesional medis.
Hubungan stres dan kesehatan biologis
Ada hubungan antara stres dan kesehatan biologis, namun hanya sedikit penelitian sebelumnya yang mengamati secara spesifik keterlibatan peradangan dalam hubungan stres dengan sindrom metabolik.
Orang dengan sindrom metabolik didiagnosis memiliki setidaknya tiga dari lima faktor yang meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, dan masalah kesehatan lainnya, kelebihan lemak perut, tekanan darah tinggi, kolesterol HDL (baik) rendah, dan kadar glukosa darah puasa yang tinggi. Kondisi itu juga disebut sebagai sindrom resistensi insulin.

Dengan menggunakan data dari sampel 648 peserta (usia rata-rata 52 tahun) dalam survei nasional bertajuk Paruh Baya di Amerika Serikat, penulis pertama Savana Jurgens membangun model statistik untuk mengukur bagaimana peradangan mungkin berhubungan dengan hubungan antara stres dan sindrom metabolik.
Informasi dari laporan responden mengenai stres yang dirasakan, biomarker (penanda biologis) darah untuk peradangan, dan hasil pemeriksaan fisik yang menunjukkan faktor risiko sindrom metabolik digunakan untuk analisis.
“Tidak banyak penelitian yang melihat ketiga variabel sekaligus,” kata Jurgens, mahasiswa pascasarjana psikologi di laboratorium Hayes.
Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa stres dikaitkan dengan peradangan. Peradangan dikaitkan dengan sindrom metabolik, dan stres dikaitkan dengan sindrom metabolik. Namun menggabungkan semua hal tersebut jarang terjadi.
Skor komposit peradangan dihitung menggunakan biomarker yang mencakup protein IL-6 dan C-reaktif yang lebih dikenal serta E-selectin dan ICAM-1, yang membantu merekrut sel darah putih selama peradangan, dan fibrinogen, protein penting untuk pembekuan darah. Pemodelan statistik menunjukkan bahwa stres memang memiliki hubungan dengan sindrom metabolik, dan peradangan menjelaskan lebih dari separuh hubungan tersebut—tepatnya 61,5%.
Jurgens menambahkan, ada pengaruh kecil dari stres yang dirasakan terhadap sindrom metabolik, namun peradangan menjelaskan sebagian besar dampaknya. Hasilnya masuk akal. Stres hanyalah salah satu dari banyak faktor yang dapat membuat penanda kesehatan menjadi kacau. Faktor lainnya mencakup berbagai perilaku, termasuk gaya hidup tidak aktif, kebiasaan makan yang tidak sehat, merokok, dan kurang tidur, status sosial ekonomi yang rendah, usia lanjut, dan berjenis kelamin perempuan.
Namun mengingat sekitar 1 dari 3 orang dewasa Amerika mengidap sindrom metabolik, penting untuk mengetahui cara menurunkan risiko atau mencegahnya, kata Hayes. Temuan ini juga menambah bukti bahwa stres dan kaitannya dengan peradangan dapat berdampak besar pada kesehatan biologis secara umum.
Orang menganggap stres sebagai kesehatan mental, padahal semuanya bersifat psikologis. Sebenarnya tidak. Ada efek fisik yang nyata dari stres kronis, menurut Hayes.
Penelitian telah dipublikasikan di Brain, Behavior, & Immunity Health. (BS)