Berandasehat.id – Dering, dengungan, atau desisan yang tidak terkendali di telinga dapat sangat mengganggu kualitas hidup. Tinnitus bisa menakutkan, menyakitkan, menjengkelkan, mengisolasi, membuat stres, membebani, membuat depresi, mengganggu, dan menjengkelkan. Kondisi itu mempengaruhi kesehatan secara umum dan menguras mental.

Bagi penderita tinnitus, telinga mereka selalu dipenuhi suara dering bernada tinggi yang tak kunjung hilang, mengikuti sepanjang hari, hampir seperti dengungan latar belakang yang konstan. Kadang-kadang hal ini menjadi lebih jelas, terutama di lingkungan yang lebih tenang, yang membuatnya sulit untuk fokus atau menikmati saat-saat tenang.

Menurut American Tinnitus Association, lebih dari 25 juta orang Amerika mengidap beberapa bentuk kelainan ini, dan sekitar 5 juta orang, penyakit ini bersifat kronis.

Sebuah studi baru dari Massachusetts Eye and Ear di Universitas Harvard menawarkan wawasan inovatif tentang peran otak terhadap tinitus – dan signifikansinya mengejutkan.
Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Stéphane F. Maison, PhD, seorang audiolog di Massachusetts Eye and Ear dan profesor di Harvard Medical School, menemukan bahwa tinnitus kronis tidak hanya terkait dengan hilangnya saraf pendengaran, tetapi juga hiperaktif di batang otak.

Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Nature, orang-orang dalam penelitian tersebut menunjukkan hasil normal pada tes pendengaran konvensional, meskipun ada gejala tinnitus. “Tetapi kami tahu bahwa hal itu tidak menjelaskan keseluruhan cerita,” kata Maison dikutip WebMD.

Maison mengatakan, seseorang yang mengalami kecelakaan mobil dan kehilangan kaki, mungkin mengalami nyeri bayangan – sensasi bahwa kaki masih di sana dan menyebabkan ketidaknyamanan. “Ini terjadi karena otak mencoba mengompensasi kehilangan tersebut, dan saat melakukannya, otak menjadi hiperaktif, sehingga merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada,” terangnya.

Gagasan yang sama berlaku untuk tinnitus. “Kita bisa menggunakan ide yang sama – otak seseorang yang mengalami gangguan pendengaran mencoba ‘mendengar’ sesuatu yang tidak ada, sehingga menghasilkan suara yang dirasakan,” sebut Maison.

Kabar baiknya: Penelitian terbaru mungkin dapat memberikan cara spesifik untuk mendiagnosis tinnitus. “Tidak ada tes untuk tinnitus sebagai suatu kondisi kronis, jadi apa yang kami coba lakukan adalah meningkatkan pengujian sehingga dapat berguna dalam pengaturan klinis dan berguna dalam merawat pasien ini di masa depan,” ujar Maison.

Artinya, pasien yang saat ini didiagnosis menderita penyakit yang berhubungan dengan tinnitus mungkin tidak perlu terus-menerus menghadapi gejala tersebut.
“Harapannya adalah menumbuhkan kembali serat pendengaran yang hilang akibat terapi obat,” kata Maison. “Konsekuensinya adalah dengan ‘melatih kembali’ otak melalui pengobatan, kita dapat mengurangi tinnitus.” (BS)