Berandasehat.id – Banyak pasangan memutuskan menunda menikah, atau kalau pun sudah menikah menunda punya anak, karena berbagai alasan. Salah satunya adalah mengejar karier atau posisi yang cukup mapan. Padahal, memutuskan menunda kehamilan bagi perempuan memiliki banyak risiko, baik bagi ibu juga janin dalam kandungan.
Disampaikan dr. Novan Satya Pamungkas, Sp.O.G, Subsp.KFM dari RS Pondok Indah Bintaro Jaya, angka kehamilan berisiko meningkat antara lain karena karena pergeseran usia hamil. “Karena menunda menikah, usia reproduksi bergeser menjadi 30 sampai 38 tahun,” beber dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan fetomaterna dalam diskusi tentang kehamilan berisiko di Jakarta, baru-baru ini.
Situasi itu memang dilematis, karena hamil di atas 35 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi baik untuk ibu maupun bayi. Salah satu yang kerap ditemui adalah munculnya hipertensi pada kehamilan. Hipertensi pada kehamilan merupakan salah satu kejadian yang cukup tinggi, yakni 10% dari seluruh kehamilan. Dikatakan mengalami hipertensi kehamilan bila tekanan darah lebih dari atau sama dengan 140/90.

Ada empat klasifikasi hipertensi pada kehamilan, yakni:
1. Hipertensi kronis. Pada hipertensi kronis, tekanan darah tinggi berkembang sebelum kehamilan atau selama 20 minggu pertama kehamilan. “Pada hipertensi kronis, ibu hamil sudah memiliki hipertensi sebelum kehamilan,” ujar Novan.
2. Hipertensi kronis dengan pre-eklampsia. Kondisi ini terjadi ketika hipertensi kronis menyebabkan memburuknya tekanan darah tinggi selama kehamilan. “Klasifikasi hipertensi kronis pun dapat berkembang menjadi pre-eklampsia, yang ditandai dengan kebocoran protein yang terdeteksi di urine ibu hamil,” beber Novan.
3. Pre-eklampsia. Pre-eklampsia terjadi ketika hipertensi berkembang setelah usia kehamilan 20 minggu. Pre-eklampsia dikaitkan dengan tanda-tanda kerusakan pada sistem organ lain, termasuk ginjal, hati, darah, atau otak. Pre-eklampsia yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi serius bahkan fatal bagi ibu dan bayi. Komplikasi mungkin termasuk eklampsia, yakni terjadinya kejang.
4. Hipertensi gestasional. Hipertensi gestasional terjadi ketika tekanan darah tinggi berkembang setelah usia kehamilan 20 minggu. Tidak ada kelebihan protein dalam urin dan tidak ada tanda-tanda kerusakan organ lainnya. Namun pada beberapa kasus, hipertensi gestasional pada akhirnya dapat menyebabkan preeklampsia. Hipertensi gestasional juga kerap disebut dengan istilah pregnancy induced hypertension. “Dalam hal ini tanpa disertai dengan protein urine,” ujar Novan.
Lebih lanjut Novan mengungkap, komplikasi yang bisa terjadi akibat kehamilan dengan pre-eklampsia pada ibu adalah sel darah rusak, gangguan fungsi hati dan ginjal, paru-paru terendam cairan hingga kegagalan napas, serta trombosit yang turun. Sedangkan pada janin, pre-eklampsia membuat pertumbuhannya terhambat sehingga bayi lahir kecil. “Penyebab utamanya adalah plasenta tidak terbentuk dengan baik, sehingga kebutuhan nutrisi pada janin tidak terpenuhi. Selain itu, risiko tertinggi dari hipertensi adalah kematian janin di dalam rahim,” terangnya.
Solusi untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melahirkan janin meskipun belum mencapai usia persalinan. Solusi ini memungkinkan plasenta yang merupakan akar masalah dikeluarkan dengan harapan ibu dan janin terselamatkan.
Novan mengingatkan agar para ibu rajin melakukan cek pada masa awal kehamilan. Pemeriksaan pada masa awal kehamilan ini dilakukan untuk menilai semua faktor risiko yang berpotensi membahayakan keselamatan ibu dan janin. (BS)