Berandasehat.id – Ternyata hubungan jangka panjang, termasuk dalam pernikahan, bisa memunculkan stres pada perempuan. Studi menemukan, stres kronis yang menumpuk selama beberapa dekade dalam suatu hubungan berdampak berbeda pada setiap anggota pasangan. Pada pasangan heteroseksual, wanita lebih cenderung menunjukkan penanda fisiologis negatif dibandingkan pasangannya.

Penelitian itu dilakukan oleh Robert-Paul Juster dari Departemen Psikiatri dan Kecanduan di Université de Montréal dan Yan-Liang Yu dari Howard University, di Washington, D.C. Hasil studi itu telah dipublikasikan di Psychosomatic Medicine.

Yan-Liang adalah seorang sosiolog yang telah lama tertarik pada bagaimana pasangan saling membentuk kesehatan dan kesejahteraan satu sama lain, menurut Juster, pakar fisiologi stres. “Dia memperhatikan bahwa banyak penelitian menunjukkan korelasi antara gaya hidup pasangan intim dan masalah kesehatan mental dan fisik mereka, namun hanya sedikit yang meneliti bagaimana sinkronisasi kesehatan mental mereka terwujud ‘di bawah kulit’ pada tingkat fisiologis,” ujarnya dikutip laman MedicalXpress.

Melanjutkan kolaborasi yang dimulai ketika mereka masih menempuh pascadoktoral di Universitas Columbia, di New York City, Yu dan Juster bekerja sama untuk mempelajari pertanyaan ini pada orang dewasa berusia 50 atau lebih menggunakan data dari Health and Retirement Study, sebuah studi longitudinal di AS mengenai penuaan.

“Beban alostatik mengacu pada konsekuensi negatif stres pada tubuh yang terakumulasi seiring berjalannya waktu,” jelas Juster. “Stres menyebabkan pelepasan kortisol, yakni hormon stres yang memicu serangkaian respons adaptif dalam tubuh.”

Ilustrasi perempuan stres (dok. ist)

Ketika stres bersifat kronis, respons adaptif ini dapat berdampak negatif pada sistem kardiovaskular, neuroendokrin, peradangan, dan metabolisme tubuh, sehingga secara bertahap mengurangi kemampuan tubuh untuk mengatasi tekanan hidup.

Dalam studi tersebut Juster dan Yu menganalisis data dari 2.338 pasangan lansia berbeda jenis kelamin yang dikumpulkan sebagai bagian dari Studi Kesehatan dan Pensiun antara tahun 2006 dan 2012. Mereka memeriksa beban alostatik individu dalam pasangan tersebut selama empat tahun untuk menentukan tingkat korelasi antar pasangan, menggunakan pendekatan diadik yang mempertimbangkan variabel sosial, ekonomi dan kesehatan, termasuk berbagai indikator fisiologis.

Beban alostatik dihitung berdasarkan parameter untuk beberapa sistem tubuh: kekebalan (protein C-reaktif), metabolisme (kolesterol HDL, kolesterol total dan hemoglobin terglikasi), ginjal (cystatin C), kardiovaskular (tekanan darah sistolik dan diastolik, detak jantung) dan antropometri (indeks massa tubuh dan lingkar pinggang).

Data dasar menunjukkan bahwa beban alostatik pasangan berkorelasi secara signifikan. Menurut Juster dan Yu, hal ini menunjukkan bahwa pasangan tersebut memiliki sinkronisasi fisiologis, mungkin karena lingkungan emosional, sosial dan keluarga mereka yang sama serta kebiasaan kesehatan yang menyatu.

“Namun, empat tahun kemudian, efek sinkronisasi lebih terasa pada perempuan,” lapor Juster. “Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan pasangan perempuan lebih dipengaruhi oleh kesejahteraan pasangan laki-lakinya dibandingkan sebaliknya, mungkin karena perempuan secara tradisional disosialisasikan untuk lebih memperhatikan hubungan interpersonal.”

Menariknya, penelitian tersebut menemukan bahwa peningkatan beban alostatik yang lebih besar pada wanita tidak dikaitkan dengan penurunan kualitas hubungan.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa respons fisiologis pasangan lanjut usia terhadap stres lingkungan tidak hanya terkait pada momen tersebut, namun hubungan ini tetap ada setelah empat tahun, menunjukkan bahwa keadaan psikososial dan fisiologis masing-masing pasangan memiliki dampak jangka panjang terhadap pasangannya,” pungkas Juster. (BS)