Berandasehat.id – Dalam studi baru peneliti menunjukkan bahwa otak memainkan peran penting dalam memicu gejala penyakit, yang dapat mengubah cara kita menangani infeksi pernapasan dan kondisi kronis.
Peneliti Universitas Calgary menemukan temuan penting, yakni paru-paru berkomunikasi langsung dengan otak ketika ada infeksi. Studi tersebut telah dipublikasikan di jurnal Cell.
“Paru-paru menggunakan sensor dan neuron yang sama dalam jalur nyeri untuk memberi tahu otak bahwa ada infeksi,” kata Dr. Bryan Yipp, MD, peneliti klinis di Cumming School of Medicine dan penulis senior studi tersebut.
Dia melanjutkan, otak memicu gejala-gejala yang berhubungan dengan penyakit; yaitu perasaan tidak sehat secara keseluruhan, merasa lelah dan kehilangan nafsu makan. Penemuan ini menunjukkan bahwa kita mungkin harus mengobati sistem saraf serta infeksinya.
Sebelum penelitian ini dilakukan pada tikus, diperkirakan infeksi pada paru-paru dan pneumonia menyebabkan molekul peradangan yang akhirnya mencapai otak melalui aliran darah.
Penyakit dianggap sebagai konsekuensi dari kerja sistem kekebalan tubuh. Namun, temuan itu mengungkapkan bahwa penyakit disebabkan oleh aktivasi sistem saraf di paru-paru.
Memahami dialog paru-otak penting untuk pengobatan karena bakteri penyebab infeksi paru dapat menghasilkan biofilm, lapisan yang mengelilingi dirinya sehingga sistem saraf tidak dapat melihatnya.

Hal itu memungkinkan bakteri tersebut bersembunyi di paru untuk waktu yang lama, sehingga dapat menjelaskan berbagai infeksi paru serius yang tidak terlalu menimbulkan gejala. Misalnya, anomali yang tidak dapat dijelaskan yang dialami Yipp di unit perawatan intensif (ICU) selama Covid. Fenomena ini, yang disebut dengan ‘happy hypoxia’ tercatat di ICU di seluruh dunia.
“Kami mempunyai pasien yang kadar oksigennya sangat rendah dan hasil rontgennya menunjukkan bahwa mereka mungkin memerlukan alat bantu hidup. Namun, ketika saya menemui pasien tersebut, mereka mengatakan dirinya merasa baik-baik saja,” kata Yipp.
Orang-orang ini hanya mengalami gejala penyakit yang terbatas meskipun virus tersebut secara agresif merusak paru-paru mereka, lanjut Yipp.
Yipp mengatakan memahami jalur komunikasi otak paru mungkin juga memiliki implikasi luas bagi orang-orang dengan infeksi paru-paru kronis seperti cystic fibrosis (CF). Banyak penderita CF memiliki bakteri biofilm di paru-parunya dan tidak menunjukkan gejala. Mereka merasa baik-baik saja, tapi kemudian mereka menjadi sakit parah. Penyebab flare tidak selalu dapat dilacak.
“Mungkin saja kambuhnya penyakit ini juga bersifat neurologis sehingga orang-orang ini hidup tanpa gejala karena bakteri bersembunyi,” kata Yipp.
Temuan ini merupakan hasil kerja tim interdisipliner termasuk para ahli di bidang neurobiologi, mikrobiologi, imunologi, dan penyakit menular.
Peneliti Universitas Calgary Drs. Christophe Altier, Ph.D., Joe Harrison, Ph.D., dan Deborah Kurrasch, Ph.D., bersama dengan Dr. Jaideep Bains, Ph.D., Krembil Research Institute, Toronto, adalah penulis koresponden dalam penelitian ini.
Para peneliti menambahkan ada satu lagi temuan unik. Tikus jantan jauh lebih sakit dibandingkan tikus betina meskipun memiliki infeksi bakteri yang sama.
Para peneliti menemukan bahwa penyakit laki-laki lebih bergantung pada komunikasi saraf dibandingkan perempuan.
Yipp mengatakan temuan ini dapat memberikan kredibilitas pada apa yang disebut ‘flu manusia’ sebuah istilah sehari-hari di mana laki-laki dianggap membesar-besarkan penyakit akibat infeksi pernapasan. Mereka mungkin tidak melebih-lebihkan, demikian laporan MedicalXpress. (BS)