Berandasehat.id – Kita kerap dengar orang meninggal mendadak karena sakit jantung. Bukan hanya lansia, anak muda juga berpotensi menjadi korban terkait masalah pada organ vital ini. Penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah) masih menjadi penyebab kematian terbesar kedua di Indonesia setelah stroke, menurut riset kesehatan dasar (RISKESDAS) Kemenkes 2023.

Kematian yang disebabkan penyakit jantung dapat berupa serangan jantung maupun henti jantung. Keduanya merupakan hal yang berbeda, meskipun sama-sama terjadi pada jantung.

Serangan jantung terjadi ketika pembuluh darah koroner tersumbat sehingga jantung tidak mendapat oksigen dan nutrisi, dan berakibat fatal.  “Sedangkan henti jantung terjadi ketika listrik jantung berdenyut supercepat (di atas 300 denyut per menit), yang mengakibatkan seseorang kolaps, dan bisa meninggal dalam waktu kurang dari 10 menit, sehingga sering disebut sebagai kematian jantung mendadak,” demikian dikatakan  dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP (K), PhD, konsultan aritmia di Heartology Cardiovascular Hospital dalam temu media di Jakarta, Senin (25/3/2024).

Sunu menambahkan, jenis penyakit jantung yang paling sering mengakibatkan henti jantung adalah gangguan irama jantung (aritmia), berupa fibrilasi ventrikel (VF) atau takikardia ventrikel yang cepat. “Meskipun tidak tersedia data pasti, diperkirakan jumlah pasien yang meninggal akibat kematian jantung mendadak lebih dari 100.000 jiwa per tahun,” ujarnya.

dr. Sunu Budhi Raharjo, SpJP (K), PhD, konsultan aritmia, saat melakukan tindakan pemasangan S-ICD pada pasien sindrom Brugada yang berisiko tinggi henti jantung di Heartology Hospital (dok. ist)

Presiden InaHRS (Indonesia Heart Rythm Society), menambahkan aritmia bisa terjadi di semua usia, termasuk orang muda. “Ini bukan kondisi demam yang diobati dengan parasetamol maka akan hilang demamnya. Artitmia bisa bermanifestasi kematian jantung mendadak sehingga patut diwaspadai,” tuturnya.

Sunu mencontoh kejadian henti jantung mendadak pebulutangkis nasional Markis Kido yang mendadak kolaps di lapangan saat sesi latihan  yang berujung pada kematian. “Dia tidak survive karena pertolongannya salah.  Resusitasi yang dilakukan tidak tepat,” ujarnya.

Dokter konsultan aritmia itu menambahkan, dalam menghadapi kejadian henti jantung, orang di sekitar harus memberikan bantuan hidup dasar, dalam hal ini dengan memompa menggunakan kedua tangan di atas dada secara kontinyu dengan bantuan berat badan kita. “Saat kita melakukan resusitasi, minta orang lain memanggil ambulans, sementara resusitasi terus diberikan hingga bantuan datang,” terangnya.

Penyebab Henti Jantung

Penyebab utama henti jantung adalah  irama jantung abnormal atau aritmia. Menurut British Heart Foundation, sekira 80 persen kejadian henti jantung disebabkan aritmia.

Sunu menyampaikan, aritmia merupakan gangguan irama jantung dengan gejala yang luas, dari mulai hanya berdebar, kliyengan hingga pingsan. “Jika debaran jantung yang panjang itu tidak berhenti, akan memicu henti jantung,” tuturnya.

Bagian jantung baik atrium maupun ventrikel, sebut Sunu, bisa menyebabkan gangguan irama jantung. “Tapi yang berbahaya itu gangguan irama jantung ventrikel kanan atau kiri. Gangguan fibrilasi ventrikel bisa meninggal kurang dari 10 menit jika tidak mendapat pertolongan,” terang lulusan Universitas Kobe Jepang.

Untuk diketahui, fibrilasi atrium adalah kondisi ketika serambi (atrium) jantung berdenyut dengan tidak beraturan dan cepat. Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah, stroke, dan gagal jantung.

Dalam keadaan normal, jantung berdetak dengan irama beraturan agar dapat mengalirkan darah dari serambi (atrium) jantung ke bilik (ventrikel) jantung, untuk selanjutnya dialirkan ke paru-paru atau ke seluruh tubuh. Namun pada fibrilasi atrium, hantaran listrik pada jantung dan irama denyut jantung mengalami gangguan, sehingga atrium gagal mengalirkan darah ke ventrikel.

Fibrilasi ventrikel adalah kondisi darurat medis yang memerlukan penanganan medis dengan segera karena berisiko menyebabkan henti jantung mendadak. Fibrilasi ventrikel merupakan salah satu jenis aritmia yang membuat jantung tidak dapat memompa darah sebagaimana mestinya.

Fibrilasi ventrikel terjadi ketika impuls listrik di jantung berjalan secara cepat dan tidak menentu, sehingga mengakibatkan ventrikel bergetar (fibrilasi) alih-alih memompa darah dengan baik ke seluruh tubuh.

Sunu mengatakan, fibrilasi atrium dan fibrilasi ventrikel memiliki konsekuensi berbeda. “Pada fibrilasi atrium hal itu bisa memicu gampalan darah, jika gumpalan itu terlepas bisa terjadi stroke. Orang dengan fibrilasi atrium memiliki peluang stroke 5 kali lipat,” ujarnya.

Sedangkan pada fibrilasi ventrikel, karena bagian itu bertugas memompa darah ke seluruh tubuh, saat ventrikel tidak bekerja sebagaimana mestinya maka hal itu akan memicu kolaps karena tidak ada aliran darah.

Pentingnya Resusitasi pada Kejadian Henti Jantung

Perlu dicatat, bahkan resusitasi yang benar belum tentu bisa menolong pasien henti jantung. “Resusitasi benar belum tentu menjamin keberhasilan dalam menolong pasien henti jantung. Resusitasi benar dalam menit pertama tingkat keberhasilan 90 persen. Resusitasi lewat 9-10 menit tidak ada harapan untuk menyelamatkan pasien henti jantung,” ujar Sunu.

Dengan kata lain, pada kejadian henti jantung harus dilakukan tindakan dan waktu yang tepat agar pasien bisa diselamatkan.

Pencegahan Kematian Jantung Mendadak

Untuk mencegah terjadinya kematian jantung mendadak diperlukan sejumlah pemeriksaan untuk mengidentifikasi apakah seseorang mempunyai risiko tinggi. Salah satu pemeriksaan yang sangat penting adalah elektrokardiografi (EKG), yaitu rekaman aktivitas listrik jantung ke dalam sebuah kertas.

“Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) merupakan pemeriksaan sederhana yang penting dalam mengidentifikasi apakah seseorang berisiko tinggi mengalami henti jantung mendadak atau tidak,” ujar Sunu.

Untuk mencegah henti jantung, sebut Sunu, pasian dapat diberikan obat, ablasi kateter atau ICD (implantable cardioverter defibrillator)

ICD merupakan perangkat yang dibuat bagi orang dengan golongan risiko tinggi mengalami henti jantung. “Henti jantung itu tidak kenal waktu, sehingga mereka yang berisiko tinggi membutuhkan alat untuk mengatasi kejadian yang bisa berakibat fatal,” ujar Sunu.

Dia mengungkap, awalnya ICD dibuat dalam ukuran besar untuk ditanam di perut. Ukuran selanjutnya dibuat lebih kecil yang memungkinkan ICD ditanam  di dalam pembuluh darah jantung. Fungsinya, bila terjadi denyut jantung supercepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut sehingga mencegah kejadian fatal.

Henti Jantung dan Sindrom Brugada

Sunu lantas mengisahkan kasus menarik yang dirujuk dari Papua ke Heartology Hospital. “Pasien relatif tanpa keluhan, tetapi dari pemeriksaan EKG ditemukan gambaran gangguan aritmia yang disebut sindrom Brugada. Selain itu, dari hasil wawancara didadapatkan bahwa kakak kandung pasien meninggal mendadak pada usia 50an,” bebernya.

Pada pemeriksaan lanjutan ditemukan bahwa pada pasien ini sangat mudah tercetus fibrilasi ventrikel, sebuah irama jantung supercepat yang mengancam nyawa.

Untuk diketahui, sindrom Brugada merupakan penyumbang terbesar kematian jantung mendadak (di atas 20%) pada individu yang sehat, terutama di daerah Asia Tenggara. Kelainan ini sering ditemukan pada laki-laki usia 40an tahun. Gejala yang timbul tidak jauh berbeda dengan gangguan irama jantung lainnya, seperti rasa berdebar, pingsan, kejang sampai meninggal mendadak.

Sunu menambahkan sampai saat ini penyebab sindrom Brugada belum jelas, tetapi faktor genetik dipercaya memberi kontribusi yang penting sehingga terjadi gangguan impuls listrik di sel-sel khusus di bilik kanan atas jantung.

Tim Heartology Hospital usai melakukan tindakan pemasangan S-ICD pada pasien sindrom Brugada yang berisiko tinggi mengalami henti jantung (dok. ist)

Penderita sindrom Brugada memiliki cacat pada saluran ini dan menyebabkan jantung mudah berdetak dengan sangat cepat (fibrilasi ventrikel). Akibatnya, irama jantung terganggu dan bisa berakibat fatal. Kondisi tersebut menyebabkan jantung dapat berhenti di waktu yang tidak diketahui.

Lebih lanjut Sunu mengatakan, pada pasien seperti ini, upaya pencegahan terjadinya kematian jantung mendadak dapat dilakukan dengan pemasangan alat defibrilator kardiak implan (ICD). Dengan terpasangnya alat ini pada seseorang yang berisiko tinggi, maka ketika terjadi denyut jantung supercepat, alat akan secara otomatis menghentikan dengan sebuah energi kejut, sehingga orang tersebut terhindar dari risiko yang fatal.

Oleh karena itu, berbagai organisasi profesi nasional dan internasional memberikan rekomendasi klas-1 untuk pemasangan ICD pada pasien yang berisiko tinggi terjadi  henti jantung. Sayangnya, dengan estimasi kematian jantung mendadak di atas  100.000 per tahun di Indonesia, implantasi alat ICD ini belum bisa ditutup dengan pembiayaan BPJS Kesehatan.

Sunu lebih lanjut menerangkan, dengan kemajuan teknologi, saat ini pemasangan ICD tidak perlu langsung di jantung, namun cukup dipasang di bawah kulit, yang disebut S-ICD atau subcutaneous implantable cardioverter defibrillator. “Dengan dipasang di bawah kulit  komplikasi lebih kecil, aktivitas pasien lebih tidak terganggu,” ujarnya.

Pada 9 Maret 2024, Heartology menjadi rumah sakit jantung pertama di Indonesia yang melakukan pemasangan S-ICD pada pasien sindrom Brugada. (BS)