Berandasehat.id – Buang air besar tiga kali sehari hingga tiga kali seminggu umumnya dianggap normal. Namun, sebuah penelitian baru mengungkapkan bahwa frekuensi pergi ke kamar mandi dapat memberikan wawasan yang signifikan tentang kesehatan jangka panjang.

Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Cell Reports Medicine menyebut bahwa buang air besar yang sering dan jarang dapat mempunyai implikasi kesehatan jangka panjang.

Untuk sampai pada simpulan itu, para peneliti mengevaluasi 1.400 orang dewasa sehat dan menemukan bahwa mereka yang lebih jarang buang air besar menunjukkan tanda-tanda penurunan fungsi ginjal. Sebaliknya, individu yang buang air besar lebih sering dari rata-rata menunjukkan tanda-tanda gangguan fungsi hati.

Berdasarkan pola buang air besarnya, para partisipan dikategorikan menjadi empat kelompok: sembelit (satu atau dua kali buang air besar per minggu), rendah-normal (tiga hingga enam kali buang air besar per minggu), tinggi-normal (satu hingga tiga kali buang air besar per hari), dan diare.

Para peneliti kemudian menyelidiki hubungan antara frekuensi buang air besar dan berbagai faktor seperti demografi, genetika, komposisi mikrobioma usus, metabolit darah, dan kimia plasma.

“Studi ini menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, dan indeks massa tubuh (BMI) secara signifikan berhubungan dengan frekuensi buang air besar. Secara khusus, orang-orang yang lebih muda, wanita, dan mereka yang memiliki BMI lebih rendah cenderung memiliki frekuensi buang air besar yang lebih jarang,” ungkap rilis berita tersebut.

Para peneliti menunjukkan frekuensi buang air besar yang optimal, yang sering disebut sebagai ‘zona Goldilocks’ terjadi sekitar satu atau dua kali sehari. Orang-orang dalam kisaran ini cenderung memiliki bakteri usus yang memfermentasi serat, yang umumnya dikaitkan dengan kesehatan yang baik.

Tim peneliti juga mengamati bahwa orang yang buang air besarnya lebih sedikit memiliki lebih banyak racun yang berasal dari mikroba dalam darahnya karena fermentasi protein di ususnya. Racun ini terkait dengan perkembangan penyakit dan angka kematian yang lebih tinggi pada penyakit ginjal kronis (CKD). Metabolit serupa juga dikaitkan dengan kondisi kronis lainnya, seperti degenerasi saraf.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat berdampak besar pada fungsi ekosistem usus. “Bila tinja menempel terlalu lama di usus, mikroba akan menggunakan semua serat makanan yang tersedia, yang kemudian mereka fermentasi menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat. Setelah itu, ekosistem beralih ke fermentasi protein, yang menghasilkan beberapa racun yang dapat masuk ke aliran darah,” kata Johannes Johnson-Martinez, penulis utama studi.

Studi juga menunjukkan bahwa untuk mencapai frekuensi buang air besar yang ideal, mengonsumsi makanan kaya serat, memastikan hidrasi yang lebih baik, dan berolahraga secara teratur akan membantu.

Penulis studi, Dr. Sean Gibbons, menyampaikan penelitian ini menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat mempengaruhi seluruh sistem tubuh, dan bagaimana frekuensi buang air besar yang menyimpang dapat menjadi faktor risiko penting dalam perkembangan penyakit kronis. “Wawasan ini dapat memberikan informasi strategi untuk mengelola frekuensi buang air besar, bahkan pada populasi yang sehat untuk mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan,” tandasnya. (BS)