Berandasehat.id – Sindrom mata kering bukan hanya mengincar usia dewasa, namun juga anak-anak. Hal itu tak lepas dari kebiasaan menggunakan perangkat elektronik sejak usia dini. Laporan Revealing Average Screen Time Statistics dari Backlinko menyebut, rata-rata waktu tatap layar (screen time) masyarakat Indonesia mencapai 7 jam 38 menit per hari.
Pemakaian perangkat elektronik dalam durasi lama bisa memicu gangguan kesehatan, salah satunya sindrom mata kering. Mata kering yang tidak segera ditangani bisa menimbulkan peradangan sehingga mengakibatkan kerusakan permukaan mata – bersifat ringan hingga berat, temporer atau permanen. Harap dicatat, hal ini juga bisa terjadi pada anak-anak.
Disampaikan dr. Niluh Archi S. R., SpM (dr. Manda), waktu tatap layar berlebih dapat mempengaruhi dinamika berkedip anak, seperti berkurangnya frekuensi dan kelengkapan berkedip. “Kondisi ini dapat meningkatkan kekeringan permukaan mata yang seiring waktu berpotensi memulai siklus dry eye,” ujar dokter spesialis mata JEC Eye Hospitals and Clinics di acara ‘JEC Eye Talks’ yang digelar daring, baru-baru ini.
Dokter Manda menambahkan, meskipun tidak ada perbedaan mata kering berdasarkan usia, tetapi proses anamnesis (pemeriksaan) pada pasien anak lebih sulit ketimbang pasien dewasa. Pasalnya, anak sering kali belum bisa mendeskripsikan keluhan yang dirasakan secara verbal. “Ini yang menjadi tantangan,” ujarnya.

Bersifat multifaktorial, mata kering merupakan penyakit atau kelainan pada permukaan mata yang ditandai dengan hilangnya keseimbangan komponen air mata, adanya ketidakstabilan air mata, peningkatan kekentalan atau osmolaritas, dan kerusakan atau peradangan pada permukaan mata.
Gejala yang dirasakan penderita mata kering antara lain mata terasa tidak nyaman – seperti mengganjal, sering merah, berair, terasa kering, sensasi berpasir, muncul kotoran, terasa lengket, serta kerap mengucek mata.
Dokter Manda menekankan pentingnya kepekaan orang tua dalam ‘meneropong’ tanda dan gejala mata kering pada anak. “Kalau anak sudah menunjukkan gejala mata kering, segera periksakan ke dokter mata,” ujarnya.
Selain itu, orang tua harus tegas memberlakukan batasan waktu layar kepada anak. Dengan disiplin menjalankan pembatasan waktu layar, imbuh dr.Manda, diharapkan anak bisa terhindar dari risiko mata kering.
Rekomendasi waktu layar anak
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan anak di bawah satu tahun dilarang menatap layar gawai. Untuk anak usia 1-3 tahun, waktu tatap layar tidak boleh lebih dari 1 jam – dengan beberapa catatan. Khusus batita 1-2 tahun hanya boleh menatap layar yang berupa video chatting (untuk berkomunikasi).
Bagi anak usia 3-6 tahun (pra-sekolah), waktu tatap layar maksimal adalah satu jam per hari – semakin singkat semakin baik. Untuk anak usia 6-12 tahun (masa sekolah),waktu layar yang disarankan adalah maksimal 90 menit per hari.
Sedangkan untuk anak usia sekolah 12-18 tahun (sekolah menengah), menurut rekomendasi IDAI, waktu tatap layar tidak lebih dari 2 jam per hari.
Anak-anak berpotensi mengalami gangguan mata kering. Studi di Korea menyebut, 9,1 persen anak-anak berusia 9-12 tahun telah mengalami gangguan mata kering. Penggunaan ponsel pintar menjadi faktor pemicu. Anak-anak yang mengalami mata kering ternyata menggunakan ponsel pintar rata-rata selama 3,18 jam per hari.
Studi di Prancis mengungkap, anak berusia 7 hingga 19 tahun menghabiskan lebih dari 3 jam per hari untuk menatap layar.
Bagaimana dengan data di Indonesia? Di dua cabang JEC, RS Mata JEC @ Kedoya dan JEC @ Menteng, selama 2022 terjadi lonjakan pasien mata kering sebesar 62 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Secara jumlah, dalam kurun empat tahun terakhir (2019-2022), JEC telah menangani lebih dari empat ribu pasien gangguan mata kering.
Mata kering tak bisa dianggap sepele atau lantas dibiarkan. “Jika tidak segera ditangani, kondisimata kering kronis dapat mengakibatkan peradangan atau infeksi pada konjungtiva, peradangan pada kornea, ulkus kornea atau luka terbuka pada kornea,” tutur dr. Manda.

Dampak lanjutan mata kering yang belum tertangani tak jarang berupa pandangan kabur – yang membuat anak kesulitan membaca. “Karenanya, pemeriksaan mata secara dini dan berkala menjadi solusi untuk mencegah dampak mata kering pada anak,” saran dr. Manda.
Dry Eye Service
JEC telah memiliki solusi layanan terpadu mata kering, JEC Dry Eye Service. Diperkuat fasilitas yang lengkap dan teknologi modern, sentra ini menawarkan layanan menyeluruh bagi pasien mata kering, termasuk anak-anak; mulai dari tahapan edukasi dan konsultasi, diagnostik, serta tindakan medis berupa terapi.
Pemeriksaan mata kering melalui JEC Dry Eye Service mencakup Dry Eye Questionnaire, Schirmer Test (menilai volume air mata), Tear Break Up Time/TBUT (menilai stabilitas air mata), Ocular Surface Staining (menilai derajat peradangan), Meibography (menilai kondisi kelenjar Meibom di kelopak mata), TearLab® Osmometer (menilai kadar osmolaritas air mata), dan keratograph (alat bantu pemeriksaan yang digunakan untuk menilai permukaan mata serta stabilitas lapisan air mata).
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, tim ahli JEC Dry Eye Service akan memberikan penanganan yang sesuai. Penanganan mulai dari pemberian obat tetes air mata buatan hingga punctal plug pada kondisi berat untuk mengatasi volume air mata yang kurang. Terapi lainnya adalah pemberian anti-radang dan antibiotik tetes mata untuk mengatasi peradangan dan kemungkinan infeksi pada mata.
Opsi terapi lainnya adalah pemberian autologous serum tetes mata untuk memperbaiki permukaan mata yang mengalami kerusakan. (BS)