Berandasehat.id – Salah satu faktor risiko terbesar stroke adalah fibrilasi atrium (AFib), gangguan irama jantung yang dapat meningkatkan risiko stroke secara signifikan.
AFib sering disebut sebagai ‘pembunuh senyap’ karena gejalanya sering tidak disadari hingga terjadi serangan stroke, yang membuat kesadaran dan pemantauan proaktif menjadi sangat penting. Kondisi ini meningkatkan risiko stroke pada penderita AFib hingga lima kali lipat dibandingkan orang yang memiliki irama jantung normal.
“AFib bertanggung jawab hingga 20% dari semua stroke iskemik. Dengan populasi yang menua dan perubahan gaya hidup, kejadian AFib terus meningkat, sehingga penting untuk meningkatkan edukasi tentang deteksi dini dan penanganan yang tepat,” kata Ketua Pokja Hipertensi PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia), dr. Bagus Andi, SpJP.
Fibrilasi atrium merupakan jenis gangguan irama jantung yang paling sering ditemui dalam praktik medis sehari-hari, dengan prevalensi 1-2%. Laporan Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) mengindikasikan angka ini akan meningkat secara signifikan dalam 50 tahun mendatang.
Untuk diketahui, sekira 70% kasus AFib terjadi pada individu berusia 65-85 tahun, dengan 84% pada mereka yang berusia di atas 85 tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa populasi lanjut usia di Indonesia akan meningkat menjadi 28,68% pada 2045-2050, yang mengindikasikan bahwa kejadian fibrilasi atrium akan terus meningkat, sehingga diperlukan strategi skrining dan manajemen yang efektif.
Peningkatan kasus fibrilasi atrium di Indonesia mencerminkan tren global, dengan faktor risiko seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan perubahan gaya hidup berkontribusi terhadap pertumbuhan ini. Banyak orang Indonesia, terutama mereka yang berusia di atas 50 tahun punya risiko tinggi mengembangkan AFib.
Namun, gangguan irama jantung juga mulai umum terjadi pada kelompok usia produktif khususnya antara 40 dan 65 tahun.
Bagus mengatakan, diagnosis AFib biasanya melibatkan beberapa tes, termasuk pemantauan Holter, yang merekam aktivitas jantung selama 24-48 jam, ekokardiogram untuk menilai struktur dan fungsi jantung, serta elektrokardiogram (ECG) untuk mendeteksi irama jantung yang tidak normal.
“Tes darah juga dapat dilakukan untuk menyingkirkan kondisi lain yang dapat memicu AFib, seperti gangguan tiroid,” tuturnya.

Mengingat AFib sering tidak terdeteksi, sangat penting bagi mereka yang berisiko tinggi untuk rutin memantau kesehatan jantung. “Pemantauan dini dapat mendeteksi tanda-tanda AFi lebih awal, memungkinkan penanganan tepat waktu dan mengurangi risiko stroke,” kata Tomoaki Watanabe, Direktur OMRON Healthcare Indonesia.
Menandai Hari Stroke Sedunia yang diperingati pada 29 Oktober, OMRON Healthcare Indonesia menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran dan pencegahan stroke, yang merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia.
OMRON Complete adalah perangkat praktis yang dapat digunakan di rumah, yang menggabungkan pemantauan tekanan darah (BP) dan elektrokardiogram (ECG), dirancang untuk mendeteksi irama jantung yang tidak teratur seperti AFib, takikardia, dan bradikardia.
Dengan peringatan real time dan pengukuran yang akurat, perangkat ini membantu menghubungkan pasien dan penyedia layanan kesehatan, memungkinkan penanganan tepat waktu. OMRON Complete juga terhubung ke aplikasi OMRON Connect melalui Bluetooth, memungkinkan pengguna menyimpan dan membagikan data dengan dokter untuk manajemen kesehatan jantung secara berkelanjutan.
“Dengan menggabungkan pemantauan BP dan ECG, OMRON Complete memungkinkan deteksi dini terhadap kelainan yang mungkin tidak terdeteksi sebelumnya,” kata Tomoaki Watanabe.
Munculnya perangkat yang user-friendly, mudah digunakan, dan terjangkau untuk mendeteksi fibrilasi atrium (AF) sangatlah penting, sebut Bagus. “Inovasi ini meningkatkan kepraktisan serta efisiensi dari skrining dan pencegahan kardiovaskular, sehingga memberi manfaat besar bagi masyarakat luas,” ujarnya. (BS)