Berandasehat.id – Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menekankan pentingnya program Makan Bergizi Gratis (MBG) terkait dengan bonus demografi pada 2045. Dikatakan, kalau populasi Indonesia tidak menyiapkan MBG, maka akan menghasilkan bencana demografi.

Dadan mengatakan, Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi pada 2045. Namun berdasarkan data rata-rata yang lahir adalah anak-anak dari keluarga miskin, rata-rata lama sekolah juga hanya sampai SMP.

“Jadi kalau populasi Indonesia tidak menyiapkan MBG, maka akan menghasilkan bencana demografi,” ujar Dadan saat menyampaikan materi di acara simposium “Program Makan Bergizi Gratis sebagai Motor Penggerak Transformasi Sistem Pangan Tangguh Berbasis Potensi Pangan Fungsional dan Kearifan Lokal-Nasional” bersama Indofood di Jakarta, Senin (25/11/2024).

Dalam paparannya Dadan menyebut, 4,78 persen anggota rumah tangga menurut kelas pengeluaran tahun 2024 masuk dalam kategori miskin. Karena alasan itulah dibutuhkan program MGB untuk mencegah bencana demografi.

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyampaikan materi di acara simposium “Program Makan Bergizi Gratis sebagai Motor Penggerak Transformasi Sistem Pangan Tangguh Berbasis Potensi Pangan Fungsional dan Kearifan Lokal-Nasional” bersama Indofood di Jakarta, Senin (25/11/2024) – dok. ist

Ia menegaskan, program MBG bukan sekadar memberikan makanan agar masuk ke dalam tubuh selanjutnya dibuang menjadi kotoran, melainkan upaya masif pemerintah melalui Badan Gizi Nasional untuk terus menyiapkan menu bergizi seimbang sebagai investasi sumber daya manusia ke depan.

“Program MBG juga menjadi penguatan sistem pangan agar lebih tangguh ke depan,” tuturnya.

MBG, sebut Dadan, merupakan investasi besar-besaran pemerintah Indonesia terhadap sumber daya manusia. Target dalam program ini adalah memberikan makan kepada ibu hamil, ibu menyusui, anak balita sampai SMA.

Ada dua titik kritis di masa pertumbuhan anak, sebut Dadan. Dua titik tersebut adalah seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK), yakni usia anak masih dalam kandungan hingga usia dua tahun. Sedangkan titik kritis kedua pada usia 8-17 tahun.

Dia menerangkan, ketika anak masih dalam kandungan kemudian disusui sampai usia lima tahun, hal itu penting untuk kecerdasan, dan perkembangan otak. “Di situ stunting memang harus diatasi. Namun, kalau kita mengatasi stunting saja, anak itu tidak akan berkembang optimal, sehingga kita harus membuat kelanjutan dengan diberikan makanan bergizi seimbang,” terang Dadan.

Sementara itu, intervensi pemberian makan bergizi seimbang di usia 8-17 tahun juga berpengaruh terhadap kecerdasan.

Integrasi Program MBG dengab UKS

Kesempatan sama, Dosen Pangan dan Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Widjaja Lukito, Sp.GK (K)., PhD, mengatakan, agar berdampak dan efektif, MBG sebaiknya diintegrasikan dengan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

“Untuk efektivitas alangkah baiknya kalau MBG terintegrasi dengan UKS. Misalnya, ada penyakit-penyakit apa yang menyertai siswa, sehingga intervensinya tepat,” terang Widjaja.

Salah satu tim pakar Indofood Riset Nugraha (IRN) itu juga menekankan pentingnya memperhatikan kebutuhan kalori masyarakat yakni 30-50 persen per hari untuk program MBG.

Kebutuhan kalori tersebut dapat dipenuhi dengan memperhatikan keragaman pangan yang berbasis kearifan lokal, karena setiap daerah tentu memiliki keunikan pangannya masing-masing.

“Program MBG juga mesti memperhatikan keragaman pangan, sekaligus menghidupkan kembali keragaman hayati kita. Selama ini kita selalu menganggap makan beras atau makan nasi itu harus, padahal sumber karbohidrat lain misalnya umbi-umbian itu lebih baik untuk kesehatan usus,” tutur Widjaja.

Bangun Kesadaran Pentingnya Gizi

Hal senada disampaikan Ketua Program IRN dan Direktur PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk, Suaimi Suriady, bahwa program MBG tidak hanya berfokus pada pemberian makanan, tetapi lebih jauh lagi berusaha membangun kesadaran akan pentingnya gizi yang baik untuk setiap lapisan masyarakat.

“Kami percaya bahwa dengan menyediakan akses yang lebih luas terhadap makanan bergizi kita dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat, khususnya di daerah-daerah yang masih menghadapi tantangan besar dalam hal ketahanan pangan,” terangnya.

Dosen Pangan dan Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Widjaja Lukito, Sp.GK (K)., PhD (dok. Berandasehat.id)

Suaimi juga menekankan bahwa elemen penting dalam transformasi ini adalah pemanfaatan potensi pangan fungsional yang sudah ada di Indonesia.

“Transformasi sistem pangan yang berbasis pada potensi pangan fungsional dan kearifan lokal ini juga akan membuka peluang untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru, memberdayakan petani lokal, dan mendukung pembangunan ekonomi berbasis agribisnis yang lebih inklusif dan berkelanjutan,” tandasnya.

Dengan demikian diharapkan tidak hanya menciptakan masyarakat yang lebih sehat, tetapi juga memperkuat daya saing ekonomi bangsa di kancah global. (BS)