Berandasehat.id – Obat dan vaksin inovatif lebih dari sekadar sarana kesehatan tapi juga berperan sebagai katalis untuk kemajuan sosial-ekonomi.

Dengan mencegah dan mengobati penyakit, obat dan vaksin inovatif mengurangi beban kesehatan, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan mendorong investasi dalam penelitian dan pengembangan di sektor kesehatan.

International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), grup perusahaan riset biofarmasi global terkemuka di Indonesia, mengungkap alasan Indonesia kesulitan memproduksi obat dan vaksin inovatif sendiri.

Dikatakan, Indonesia adalah negara dengan inovasi obat dan vaksin terendah di dunia.

Karenanya,IPMG mengatakan perlu ada strategi di tingkat nasional untuk memperluas akses ke obat-obatan inovatif, karena saat ini strategi masih terfragmentasi di tiap-tiap pemangku kebijakan.

Ketua IPMG Ait-Allah Mejri menyoroti strategi inovasi obat masih terbatas di tingkat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), atau di Kementerian Kesehatan, atau di hukum omnibus.

“Perlu ada strategi yang terintegrasi dan komprehensif, karena Indonesia baru dapat mengakses 9 persen dari keseluruhan obat-obat inovatif yang diluncurkan secara global,” kata Ait-Allah Mejri dalam acara ‘Membangun Kolaborasi untuk Mendorong Inovasi Biofarmasi dan Transformasi Kesehatan Menuju Indonesia Emas 2045’ di Jakarta, Kamis (12/12/2024).

Menurut dia, keadaan hanya 9 persen inovasi yang tersedia, adalah konsekuensi 20 tahun dari kebijakan domestik, dan itu tidak terjadi dalam kurun waktu semalam.

Ketua IPMG Ait-Allah Mejri (tengah) dan Wakil Ketua IPMG Evie Yulin (kanan) – dok. Berandasehat.id

Lebih lanjut Ait-Allah Mejri menyampaikan, sejauh ini hanya hanya 2 persen dari obat-obatan inovatif dijamin oleh BPJS Kesehatan.

Hal yang menyulitkan perusahaan inovatif datang ke Indonesia adalah negara ini satu-satunya yang menerapkan kebijakan semacam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008, di mana tidak boleh melakukan komersialisasi di Indonesia apabila tidak punya pabriknya di tanah air.

“Satu kebijakan yang menghambat di mana Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mengadopsi kebijakan ini adalah sesuatu yang disebut Permenkes 1010. Ini negara lain, Cina, Singapura, Malaysia tidak ada yang menerapkan,” tutur Ait-Allah Mejri.

Kesempatan sama, Wakil Ketua IPMG Evie Yulin menyampaikan hal yang juga menjadi tantangan adalah rantai pasok yang kompleks serta tidak transparan. Hal ini dapat menggenjot harga obat-obatan di Indonesia.

Karenanya, IPMG juga mengeluarkan Manifesto, untuk mendorong para pemangku kepentingan mengatasi masalah-masalah terkait dengan hal-hal yang menghambat akses masyarakat pada obat dan vaksin inovatif

Manifesto IPMG merupakan peta jalan yang mengusulkan langkah-langkah penting untuk memajukan strategi kesehatan nasional yang memprioritaskan akses terhadap obat dan vaksin inovatif.

Untuk menggerakkan pemangku kepentingan, IPMG juga merilis 5 Pilar Manifesto, yakni:

1. Pembentukan tim kerja ‘Strategi Nasional untuk Obat dan Vaksin Inovatif’.

2. Peninjauan kriteria pengadaan obat dan vaksin yang lebih efektif secara biaya.

3. Percepatan penilaian teknologi kesehatan (HTA).

4. Penguatan kerangka regulasi (BPOM).

5. Prioritisasi pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan. (BS)