Berandasehat.id – Pingsan mungkin bukan selalu menjadi hal serius. Namun kejadian pingsan tidak serta merta bisa dianggap sepele karena bisa menjadi tanda adanya masalah pada jantung, apalagi jika pingsan disertai kejang.

Menurut spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis aritmia RS Pondok Indah-Pondok Indah, dr. Dony Yugo Hermanto, Sp.J.P.Subsp.Ar(K), FIHA, pingsan dikategorikan menjadi tiga. Pertama, pingsan refleks karena gangguan saraf. Contohnya pingsan saat melihat darah atau pingsan saat mengikuti upacara bendera.

Kedua, pingsan karena hipotensi (tekanan darah rendah) misalnya akibat perubahan posisi dari duduk ke berdiri, umumnya dialami kaum lansia.

Sedangkan pingsan yang perlu mendapat perhatian serius adalah karena gangguan irama jantung atau aritmia. Umumnya jenis pingsan karena gangguan irama jantung disertai kejang. “Pingsan jenis ini patut diwaspadai karena bisa fatal hingga kematian. Ini terjadi pada atlet bulutangkis Cina saat bertanding di Indonesia beberapa waktu lalu. Saat pingsan dia tidak mendapat pertolongan memadai sehingga berakhir fatal,” kata Dony dalam temu media yang dihelat RS Pondok Indah Group di Jakarta, baru-baru ini.

Spesialis jantung dan pembuluh darah subspesialis aritmia RS Pondok Indah-Pondok Indah, dr. Dony Yugo Hermanto berbagi wawasan tentang gangguan irama jantung/aritmia (dok. Berandasehat.id)

Aritmia merupakan gangguan irama jantung yang mencakup pembentukan listrik dan penjalarannya. Beberapa kondisi yang merupakan penyebab aritmia mencakup penyakit degeneratif terkait usia, genetik, hipertensi, gangguan struktural jantung baik pada otot atau koroner dan gangguan elektrolit, hingga idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).

Saat menemukan orang pingsan disertai kejang, pertolongan cepat dan tepat menjadi faktor penentu yang bisa menyelamatkan nyawa. Saat ada korban jatuh pingsan disertai kejang, segera berikan pertolongan pijat jantung. “Berikan pijatan pijat jantung dengan kedua tangan dan berikan tekanan kuat. Minta bantuan orang lain untuk memanggil ambulans dan dibawa ke rumah sakit,” terang dokter subspesialis aritmia yang berpraktik di RS Pondok Indah – Pondok Indah Jakarta.

Pingsan karena masalah jantung membutuhkan pertolongan segera. “Kalau selama empat menit saja jantung berhenti otak bisa rusak. Makanya, sembari menunggu pertolongan medis berikan pijat jantung ke korban,” urai Dony.

Lebih lanjut Dony menyampaikan, tak semua penderita aritmia bisa merasakan gejala. Yang gawat adalah kalau aritmia ganas, tidak merasakan gejala begitu serangan terjadi bisa berakibat fatal, termasuk kematian. “Ada aritmia tidak terdeteksi yang malignan (ganas), biasanya karena ada faktor risiko. Misalnya ada riwayat sakit jantung. Untuk mendeteksinya harus cek berkala. Untuk di atas 35 tahun lakukan medical check up rutin tiap tahun,” tuturnya.

Tes yang harus dilakukan untuk mendeteksi aritmia bukan hanya cek darah/laboratorium, namun juga rontgen dan treadmill. “Dalam tes EKG (elektrokardiogram, pemeriksaan untuk mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung) mungkin aritmia terdeteksi kalau koronernya sudah berat. Untuk deteksi aritmia dini bisa dilakukan dengan treadmill. Jika ada detak abnormal itu akan terbaca,” beber Dony.

Tak spesifik gender

Dia mengatakan, aritmia tidak spesifik gender, artinya laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk mengalaminya. “Aritmia bukan sesuatu yang spesifik gender, bisa menimpa siapa saja kapan saja. Bukan hanya orang dewasa, anak-anak juga bisa kena. Misalnya waktu lahir detak nadi hanya 30 atau 35 padahal normalnya 50,” ujarnya.

Anak dengan aritmia mungkin menunjukkan sejumlah tanda, di antaranya lemas dan tidak mau bermain, pemeriksaan detak nadi di bawah 50, pandangan gelap atau kunang-kunang. Tanda lain aritmia adalah jantung terasa berdebar tanpa ada pemicu. “Lagi duduk atau tidur tiba-tiba berdebar, itu tidak normal,” terang Dony.

Normalnya, jantung berdetak secara teratur 50-100 kali per menit. Aritmia dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yakni bradikardia (detak lebih lambat), takikardia (detak lebih cepat), dan ekstra sistole (gangguan irama jantung yang ditandai dengan adanya denyutan jantung tambahan di luar denyut normal).

Meraba nadi sendiri (menari) untuk deteksi gangguan irama jantung (dok. ist)

Deteksi aritmia bisa dilakukan secara mandiri, yaitu dengan teknik Menari (meraba nadi sendiri). “Rasakan nadi di tangan dengan ujung jari. Hitung apakah detaknya normal 50-100 kali per menit. Kalau nadi berdenyut lebih lambat (bradikardia) atau lebih cepat (takikardia), itu tidak normal. Atau denyutnya tidak teratur, tiba-tiba lompat, itu juga tidak normal, harus selekasnya dikonsultasikan ke dokter,” saran Dony.

Selain Menari, perangkat smartwatch juga bisa dilakukan untuk mendeteksi gangguan irama jantung. Dony menyebut akurasinya bisa mencapai 85 hingga 92 persen. “Kalau tidak yakin dengan hasilnya, bisa cek ke dokter. Rekamannya tersimpan jadi bisa dibaca,” terangnya.

Selain itu, oksimetri juga bisa membantu melihat irama jantung lebih cepat, lambat, atau normal namun angkanya loncat. “Kemungkinan itu juga suatu aritmia. Oksimetri bisa dipakai sebagai edukasi masyarakat untuk deteksi aritmia. Jika hasilnya menunjukkan detak yang tidak normal, segera periksakan ke dokter untuk mendapatkan penanganan yang tepat,” tandas Dony. (BS)