Berandasehat.id – Gangguan irama sirkadian memiliki implikasi penting bagi kesehatan. Peneliti Northwestern Medicine telah menemukan bagaimana gangguan irama sirkadian di otot yang dikombinasikan dengan pola makan yang buruk dapat berkontribusi pada perkembangan diabetes, menurut sebuah studi terbaru yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences.
“Ketika kita mengacaukan irama sirkadian melalui gangguan sirkadian lingkungan seperti kerja shift, jet lag atau kurang tidur, ada kemungkinan hal itu memengaruhi jam otot dan metabolisme kita,” kata Clara Peek, Ph.D., asisten profesor Biokimia dan Genetika Molekuler dan Kedokteran di Divisi Endokrinologi, Metabolisme, dan Kedokteran Molekuler, penulis senior studi tersebut.
Peek menambahkan, apabila itu terjadi dan kita menggabungkannya dengan pola makan yang tidak sehat, ini mungkin membuat manusia lebih mungkin mengembangkan intoleransi glukosa dan diabetes.
Jam sirkadian alami tubuh terdiri dari protein yang disebut faktor transkripsi yang ada di seluruh tubuh, termasuk jaringan otot. Jam tersebut menyinkronkan perubahan fisik dan perilaku terhadap lingkungan eksternal selama siklus cahaya 24 jam.
Gangguan pada irama sirkadian sebelumnya dikaitkan dengan perkembangan penyakit metabolik, tetapi kontribusi jam otot rangka masih belum jelas.
Dalam penelitian saat ini, tim Peek berusaha memahami bagaimana irama sirkadian memengaruhi metabolisme otot (proses otot mengubah nutrisi, seperti glukosa, menjadi energi) dan bagaimana gangguan pada jam internal ini dapat mempercepat intoleransi glukosa selama obesitas yang disebabkan oleh pola makan yang buruk.

Para peneliti mempelajari tikus yang kekurangan gen BMAL1 dan diberi pola makan tinggi lemak dan tinggi karbohidrat. Penelitian sebelumnya menetapkan bahwa BMAL 1 mengatur ritme sirkadian serta fungsi dan metabolisme otot.
Para peneliti menemukan bahwa tikus-tikus ini menunjukkan intoleransi glukosa yang dipercepat pada pola makan ini, meskipun tidak ada perbedaan dalam penambahan berat badan dibandingkan dengan tikus normal.
“Kehilangan faktor sirkadian pada otot memperburuk perkembangan fenotipe diabetes pada tikus,” kata Peek.
Para ilmuwan juga melakukan pengurutan RNA dan pembuatan profil metabolit pada otot-otot yang kekurangan BMAL1 pada tikus dan menemukan bahwa otot-otot tersebut telah mengganggu penggunaan glukosa selama tahap awal glikolisis, jalur metabolisme yang mengubah glukosa menjadi ATP, atau energi, untuk sel.
Mereka juga menemukan bahwa selama obesitas yang disebabkan oleh pola makan, BMAL1 bekerja sama dengan jalur faktor yang dapat diinduksi hipoksia (HIF) untuk ‘mengatur ulang’ jam sirkadian agar beradaptasi dengan stres nutrisi.
Dengan menggunakan model tikus genetik baru untuk memulihkan aktivitas HIF pada otot-otot yang kekurangan BMAL1, para ilmuwan mampu membalikkan intoleransi glukosa yang disebabkan oleh pola makan.
“Ketika jam di otot ini terganggu, koneksi dengan HIF ini hilang dan inilah yang menyebabkan metabolisme glukosa yang memburuk di otot,” kata Peek.
Langkah selanjutnya yang harus diambil para ilmuwan, menurut Peek, termasuk menentukan apakah irama sirkadian sudah terganggu pada model hewan obesitas yang disebabkan oleh pola makan dan apakah gangguan ini berkontribusi terhadap intoleransi glukosa dan resistensi insulin.
“Kami tahu bahwa jam tersebut sebenarnya tidak normal pada obesitas yang disebabkan oleh pola makan, jadi kami ingin mengetahui apa kontribusinya terhadap diabetes dan obesitas,” tandas Peek. (BS)