Berandasehat.id – Eliminasi tuberkulosis (TBC) di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, menyusul pembekuan dana USAID dari Amerika Serikat maupun efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Ketua Tim Kerja TBC Kemenkes RI, Tiffany Tiara Pakasi, menyampaikan bahwa penemuan kasus TBC dalam dua tahun terakhir – tepatnya pada masa Covid-19 terbengkalai sehingga estimasi kasus tuberkulosis di tahun ini meningkat hingga 1.090.000.

Namun, penanggulangan TBC nasional tetap harus dilakukan, memiliki payung Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 yang menegaskan bahwa semua pihak memiliki peran dalam penanggulangan TBC. 

“Pemerintah terus berkomitmen, sekarang TBC sudah menjadi isu prioritas dan sudah disampaikan juga oleh Presiden Prabowo di berbagai media, bahwa Indonesia berkomitmen dalam eliminasi TBC,” kata Tiara di acara Hari Tanpa Tuberkulosis Sedunia (HTBS) 2025 di Jakarta, Senin (28/4/2025).

Diakui, ada banyak tantangan dalam eliminasi TBC, di antaranya muncul stigma di masyarakat dan akses layanan yang belum merata.

Ilustrasi eliminasi TBC (dok. ist)

Tiara mengatakan stigma dan hoax di masyarakat masih sangat banyak, seperti target pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT) untuk kontak erat menjadi tantangan yang harus diberikan pada orang sehat tapi sudah terinfeksi. “Sehingga capaiannya masih rendah,” ujarnya.

Kesempatan sama, Direktur Eksekutif STOP TB Partnership Indonesia (STPI) Henry Diatmo, menambahkan komunitas menjadi peran kunci di masyarakat karena mereka bersentuhan secara langsung dengan pasien
maupun penyintas TBC.

“Banyak organisasi yang bergerak di penanggulangan TBC seperti Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dan PR Konsorsium Penabulu-STPI, tempat kami
berjuang untuk memberikan dukungan pada pasien TBC, melakukan advokasi ke
pemerintah, dan melibatkan swasta untuk upaya penanggulangan TBC,” ujar Henry.

Komunitas juga menjadi wadah untuk para pasien/penyintas mengadukan masalah sosial yang dialami dengan mengakses LaporTBC, sehingga pasien/penyintas TBC bisa merasa aman.

National Program Director PR Konsorsium Penabulu STPI, Betty Nababan, menyebutkan bahwa komunitas di bawah payung PR bertujuan untuk melibatkan dan menggerakkan semua Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) untuk bisa menjadi subrecipient mengelola dana dari pendanaan global.

Mengingat tidak bisa bergantung dengan tenaga medis saja, sehingga komunitas membantu mendorong kegiatan TBC. “Ada 229 subrecipient yang berperan dalam melakukan penanggulangan TBC yang bisa dilakukan komunitas seperti skrining kasus kontak TBC,” kata Betty.

Selanjutnya komunitas juga melakukan
rujukan ke layanan kesehatan agar dilakukan konfirmasi positif atau tidak.

Betty juga menyampaikan bahwa PR Konsorsium untuk menggerakkan semua kader agar dapat memberikan TPT pada kontak erat pasien dalam kegiatan SIKAT TPT. Kegiatan ini diharapkan dapat membantu pemerintah yang cakupan TPT-nya baru mencapai 19% per Maret 2025.

Sementara itu, Yani Panigoro, Ketua Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI) bekerja dengan mengisi kekosongan dari kegiatan yang tidak bisa didanai oleh pendanaan global. 

Kegiatan yang dilakukan antara lain edukasi berbasis komunitas, mendorong deteksi dini  serta mendorong pasien melakukan pengobatan.

“Semua pihak memiliki peran dalam penanggulangan TBC. Justru jika mengandalkan pemerintah saja maka mustahil eliminasi TBC tercapai,” kata Yani.

Oleh karena itu, peran lintas sektor
sangat diperlukan untuk memperkuat penanggulangan TBC di Indonesia. (BS)