Berandasehat.id – Kepadatan ekstrem saat ibadah haji dan umrah meningkatkan risiko penularan penyakit infeksi di antara para jemaah, khususnya pada jemaah haji kelompok risiko tinggi, yakni berusia di atas 60 tahun dan memerlukan pendampingan, mencakupobat, alat, maupun orang lain.

Tahun ini Indonesia mendapat kuota 221.000 jemaah haji yang terdiri atas 201.063 jemaah reguler, 1.572 petugas haji daerah, 685 pembimbing pada Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU), serta 17.680 jemaah haji khusus yang siap berangkat ke Arab Saudi, menurut data Kementerian Agama (Kemenag).

Menurut Dr. dr. Lies Dina Liastuti, Sp. J.P, Subsp. Eko. (K), MARS, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Subspesialis Jantung dan Pembuluh Darah Ekokardiografi Pondok Indah Heart Center, jemaah haji yang berusia lanjut dan memiliki penyakit penyerta harus menyiapkan diri sebaik-baiknya agar ibadah lancar.

“Ibadah haji itu ibadah fisik, ada ritual tawaf mengelilingi kabah tujuh kali juga sai, berjalan kaki dari bukit sofa dan marwah tujuh kali. Semua dilakukan dalam keramaian sehingga tidak bisa cepat, bisa makan waktu 2 hingga 3 jam. Bagi pasien sakit jantung itu ada beban tinggi berjalan selama 2 hingga 3 jam dalam kepadatan. Belum lagi tekanan emosi yang sangat menguras energi,” ujar dr. Lies dalam temu media di Jakarta, baru-baru ini.

Ilustrasi ibadah haji di Mekkah (dok. ist)

Karena lebih banyak melibatkan fisik, maka calon haji harus membersiapkan diri sejak sebelum keberangkatan, baik fisik maupun obat-obatan. “Ketahanan fisik harus dilatih jauh hari sebelum keberangkatan disesuaikan dengan kapasitas masing-masing,” ujarnya.

Obat-obatan harus dibawa sesuai dengan resep dokter, termasuk tensimeter untuk mengukur tekanan darah (jika memungkinkan). “Obat harus dibawa. Karena ibadah haji mencapai 40 hari, bawa obat untuk dua bulan ke depan,” ujar dr. Lies.

Setiap jemaah haji harus mengukur kemampuan diri. “Lakukan ibadah yang wajib. Kalau ada kegiatan lain, misalnya jalan-jalan di waktu luang yang menguras energi, sementara fisik sudah lelah sebaiknya tak memaksakan diri. Kumpulkan saja energi untuk fokus ibadah. Kelelahan akan memicu tensi naik. Kalau tensi ketinggian dan tidak terkontrol, hal itu bisa memicu serangan jantung dan stroke yang bisa fatal,” lanjutnya.

Ahli jantung supspesialis kardiologi Pondok Indah Heart Center ini juga mengingatkan agar jemaah haji menjaga asupan makan dan minum yang cukup selama di Arab Saudi. “Makan dan minum yang cukup. Makanan di sana sudah disesuaikan dengan selera orang Indonesia. Bawa semprotan wajah agar tidak kepanasan saat melakukan ibadah, khususnya di cuaca panas,” sarannya.

Bagi jemaah haji dengan penyakit penyerta sebaiknya memiliki nomor kontak perawat/dokter untuk mengantisipasi kondisi darurat.

Saat terjadi hal yang tak diinginkan, misalnya serangan jantung selama menjalankan ibadah haji, dr. Lies mengingatkan pentingnya memberi pertolongan pertama pada pasien sebelum petugas medis datang. “Saat pasien jatuh, segera cek apakah masih bernapas. Cek juga nadi leher apakah masih ada denyut. Dan segera cari bantuan untuk melakukan RJP (resusitasi jantung paru) bergantian. Jangan lakukan sendiri karena RJP berat dan perlu dilakukan sampai bantuan medis datang,” tuturnya.

RJP perlu dilakukan untuk menolong pasien serangan jantung. Ini merupakan tindakan darurat yang bertujuan untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan organ vital lainnya ketika seseorang mengalami henti jantung atau berhenti bernapas. Tindakan ini melibatkan kompresi dada dan napas buatan untuk membantu memulihkan pernapasan dan sirkulasi darah.

Kompresi dada harus dilakukan dengan kuat dan cepat untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Tindakan RJP sangat penting untuk dilakukan segera mungkin saat seseorang mengalami henti jantung atau henti napas, karena setiap menit yang berlalu akan mengurangi peluang bertahan hidup. .

RJP merupakan prosedur darurat yang harus dilakukan oleh seseorang yang terlatih. Namun demikian setiap orang dapat dan harus berusaha melakukan tindakan ini apabila menemukan seseorang yang mengalami henti jantung atau henti napas.

Pemeriksaan ekokardiografi untuk diagnosis penyakit jantung

Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Diagnosis yang cepat dan akurat, serta informasi mendalam mengenai kondisi jantung sangat penting untuk menentukan strategi pengobatan yang tepat.

Ada banyak ragam penyakit jantung yang dapat menimpa seseorang. Berbagai penyakit jantung tersebut antara lain: penyakit jantung koroner, penyakit jantung bawaan, penyakit katup jantung, hingga kardiomiopati dan penyakit jantung hipertensi.

Untuk menunjang proses pemeriksaan dan penegakan diagnosis yang tepat, dibutuhkan modalitas pemeriksaan jantung non-invasive (tanpa bedah) yang canggih, salah satunya dengan ekokardiografi.

Sesuai namanya, ekokardiografi (sering disebut dengan cardiac ultrasound), adalah sebuah teknik pencitraan diagnostik non-invasive yang menggunakan gelombang ultrasound untuk memvisualisasikan struktur anatomi, fisiologi, dan fungsi jantung serta pembuluh darah besar di sekitarnya.

“Tujuan utama ekokardiografi adalah untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan tatalaksana, dan memprediksi prognosis penyakit jantung. Tindakan ini juga penting dalam evaluasi pasien sebelum dan selama tindakan medis yang berisiko memengaruhi fungsi jantung,” terang dr. Lies.

Ekokardiografi dapat digunakan sebelum tindakan operasi untuk memberikan penilaian komprehensif mengenai kondisi dan fungsi jantung pasien sebelum menjalani pembedahan mayor (termasuk operasi bukan jantung), sehingga tim medis dapat mengantisipasi dan meminimalkan risiko komplikasi kardiovaskular.

Dr. dr. Lies Dina Liastuti, Sp. J.P, Subsp. Eko. (K), MARS, Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah Subspesialis Jantung dan Pembuluh Darah Ekokardiografi Pondok Indah Heart Center (dok. Berandasehat.id)

Selain itu, teknik ini dapat digunakan sebagai pemantauan efek kardiotoksik kemoterapi. Pasalnya, beberapa agen kemoterapi, terutama doxorubicin, diketahui memiliki efek kardiotoksik yang dapat melemahkan otot jantung secara signifikan.

Dengan demikian, evaluasi fungsi jantung melalui ekokardiografi sebelum, selama, dan setelah kemoterapi memungkinkan deteksi dini dan penanganan segera terhadap komplikasi kardiovaskular yang mungkin terjadi.

Lebih lanjut dr. Lies menyampaikan, pada pasien dengan kondisi kronis seperti hipertensi berat atau diabetes melitus yang berisiko tinggi mengalami komplikasi kardiovaskular, pemantauan rutin dengan ekokardiografi memungkinkan deteksi awal perubahan struktural dan fungsional jantung, sehingga intervensi dapat dilakukan tepat waktu.

Ekokardiografi adalah prosedur yang aman dan tidak menyakitkan. “Pasien mungkin akan merasakan sedikit tekanan saat transducer digerakkan di atas dada, tetapi tidak ada rasa sakit yang perlu dikhawatirkan,” tuturnya.

Selain ekokardiografi, ada beberapa alternatif untuk mengetahui kondisi jantung, seperti MRI jantung, CT scan jantung, dan angiografi koroner. “Alternatif ini tetap digunakan tergantung pada kondisi jantung dan kebutuhan diagnosis setiap pasien,” tandas dr. Lies. (BS)