Berandasehat.id – Donat, kue, sosis, dan makanan siap saji tersebut mungkin memuaskan selera kita terhadap rasa kenyang, tetapi harga yang harus dibayar untuk ini mahal. Pasalnya, meskipun makanan yang sangat diproses sering kali praktis dan lezat, namun semakin dikaitkan dengan risiko kesehatan yang serius.
Penelitian terkini menambah bukti lebih lanjut tentang hubungan tersebut, yang mengungkap bahwa makanan yang memanjakan ini mungkin tidak hanya membahayakan tubuh dalam jangka pendek, tetapi juga dapat memperpendek harapan hidup secara signifikan.
Para peneliti mengembangkan model untuk memperkirakan risiko relatif kematian karena semua penyebab berdasarkan data konsumsi makanan di delapan negara.
Hasil yang dipublikasikan dalam American Journal of Preventive Medicine mengungkap bahwa di negara-negara seperti Kolombia, makanan yang sangat diproses menyumbang 15% dari total asupan kalori, sementara di Amerika Serikat, angka tersebut meroket hingga lebih dari 50%.
Penelitian tersebut juga menemukan tren yang mengkhawatirkan, negara-negara dengan konsumsi makanan yang sangat diproses yang lebih rendah memiliki risiko kematian sebesar 4% lebih tinggi, sementara di negara-negara dengan tingkat asupan makanan jenis ini tertinggi, seperti Amerika Serikat, risikonya melonjak hingga hampir 14%.
“Pada tahun 2018 misalnya, 124.000 kematian dini disebabkan oleh konsumsi makanan olahan di Amerika Serikat,” kata kepala peneliti studi Eduardo Augusto Fernandes Nilson dalam rilis berita.

“Kami mengamati risiko seseorang meninggal karena mengonsumsi lebih banyak makanan ultra-olahan antara usia 30 dan 69 tahun, saat kematian dini masih mungkin terjadi. Kami menemukan bahwa untuk setiap peningkatan 10% total kalori dari makanan ultra-olahan, risiko kematian dini meningkat hampir 3%,” imbuh rekan penulis studi Carlos Augusto Monteiro dari Universitas São Paulo, Brasil.
Meskipun studi sebelumnya telah menemukan dampak kesehatan dari makanan yang sangat diproses, studi ini penting karena memberikan bukti hubungan dosis-respons linear antara konsumsi makanan ultra-olahan dan kematian karena semua penyebab.
Berdasarkan temuan studi tersebut, para peneliti menyerukan tindakan segera, dengan menekankan bahwa kebijakan yang mengurangi konsumsi makanan olahan sangat dibutuhkan secara global.
Nilson menyuarakan kekhawatiran bahwa sementara di negara-negara berpendapatan tinggi konsumsi makanan olahan sudah tinggi tetapi relatif stabil selama lebih dari satu dekade, di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah konsumsinya terus meningkat. “Ini berarti bahwa meskipun beban yang dapat diatribusikan di negara-negara berpendapatan tinggi saat ini lebih tinggi, beban tersebut terus bertambah di negara-negara lain,” tandas Nilson. (BS)