Berandasehat.id – Masker bedah berfungsi mencegah penyebaran patogen di udara. Masyarakat mulai akrab dengan masker sejak pandemi COVID-19. Kini, masker bedah yang dimodifikasi juga dapat melindungi pemakainya dengan mendeteksi kondisi kesehatan, termasuk penyakit ginjal kronis.

Dalam publikasi ACS Sensors, para peneliti menggabungkan sensor napas khusus di dalam kain masker wajah untuk mendeteksi metabolit yang terkait dengan penyakit tersebut.

Dalam pengujian awal, sensor tersebut mengidentifikasi orang-orang dengan kondisi penyakit ginjal kronis dengan tepat hampir sepanjang waktu.

Ginjal membuang produk limbah yang dibuat oleh proses metabolisme tubuh. Namun dalam kasus penyakit ginjal kronis (CKD), organ-organ ini telah rusak dan kehilangan fungsi seiring waktu, yang dapat memiliki implikasi luas pada kesehatan individu.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) memperkirakan bahwa 35 juta orang Amerika menderita penyakit ginjal kronis, dan lebih banyak lagi yang dapat menderita penyakit tersebut tanpa menyadarinya, mungkin pada tahap awal.

Saat ini, profesional medis mendiagnosis kondisi tersebut dengan mengukur metabolit dalam darah atau urin, tetapi sistem berteknologi rendah dan berbiaya rendah, seperti yang terbuat dari permen khusus, dapat mempermudah prosesnya.

Sensor napas kimia adalah alat diagnostik lain yang saat ini sedang dieksplorasi karena penderita ginjal kronis mengembuskan amonia dalam kadar tinggi, zat kimia yang terkait dengan kondisi tersebut.

Ilustrasi tenaga kesehatan memakai masker (dok. ist)

Namun, amonia juga dikaitkan dengan kondisi kesehatan lainnya.

Corrado Di Natale dan rekan-rekannya ingin membuat sensor khusus yang secara bersamaan mendeteksi amonia dan metabolit terkait penyakit ginjal kronis lainnya.

Untuk kemudahan penggunaan, mereka menggabungkan sensor tersebut ke dalam bentuk yang sudah dikenal: masker wajah bedah. Untuk membuat sensor napas, tim pertama-tama melapisi elektroda perak dengan polimer konduktif yang umumnya digunakan dalam sensor kimia.

Polimer tersebut dimodifikasi dengan porfirin, molekul yang sensitif terhadap senyawa volatil, untuk meningkatkan sensitivitas.

Elektroda berlapis ditempatkan di antara lapisan masker wajah medis sekali pakai, dan kabel menghubungkan perangkat ke pembacaan elektronik. Ketika gas tertentu berinteraksi dengan polimer khusus ini, hal itu menyebabkan perubahan yang dapat diukur dalam resistansi listrik.

Percobaan awal di udara ini mengonfirmasi sensitivitas tinggi sensor untuk metabolit terkait penyakit ginjal kronis, termasuk amonia, etanol, propanol, dan aseton.

Kemudian masker wajah khusus diuji pada 100 orang. Sekitar setengah dari peserta memiliki diagnosis penyakit ginjal kronis, dan setengah lainnya (kelompok kontrol) tidak.

Sensor mendeteksi beberapa senyawa dalam napas peserta, dan analisis statistik data mengungkapkan pola yang jelas yang membedakan peserta dengan penyakit ginjal kronis dari kelompok kontrol.

Sensor tim mengidentifikasi dengan benar ketika seorang pasien memiliki penyakit ginjal kronis 84% dari waktu (positif benar) dan bahwa seorang pasien tidak memiliki kondisi itu 88% dari waktu (negatif benar).

Selain itu, hasilnya menunjukkan bahwa data sensor dapat digunakan untuk memperkirakan stadium penyakit ginjal kronis, yang menjadi sangat berharga dalam proses diagnostik.

Para peneliti mengatakan bahwa temuan ini menyajikan potensi untuk pemantauan pasien penyakit ginjal kronis yang mudah, non-invasif, dan hemat biaya.

“Penerapan teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan pasien penyakit ginjal kronis dengan memfasilitasi identifikasi perubahan yang tepat waktu dalam perkembangan penyakit,” kata Sergio Bernardini dan Annalisa Noce, rekan penulis studi. (BS)