Berandasehat.id – Belum begitu dikenal luas, kanker empedu merupakan salah satu jenis kanker paling agresif dan berisiko tinggi, dan umumnya ditemukan pada stadium lanjut yang mengurangi angka harapan hidup.

Data Globocan 2022 menyebut, di seluruh dunia, ditemukan 627 kasus baru kanker kantong empedu setiap tahunnya dengan angka kematian 432 jiwa. Sementara itu, diperkirakan sekitar 3.570 kasus baru kanker pada saluran empedu (~15% dari kanker hati) diperkirakan terjadi setiap tahun.

Menurut Prof. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, M.Epid, M.Pd.Ked., FINASIM, FACP, kanker empedu terjadi saat pertumbuhan sel abnormal dan tidak terkendali pada organ empedu.

Berdasarkan jenisnya, kanker empedu dibagi menjadi dua jenis, yaitu kanker kantong empedu (gallbladder cancer) dan kanker saluran empedu (cholangiocarcinoma).

Prof Ikhwan menjelaskan, faktor risiko kanker empedu mencakup batu empedu, infeksi parasit, kelainan saluran empedu, penyakit hati kronis seperti sirosis dan hepatitis, usia lanjut, obesitas, riwayat keluarga, serta paparan bahan kimia tertentu.

Namun perlu dipahami bahwa memiliki satu atau lebih faktor risiko bukan berarti pasti terkena kanker, namun kewaspadaan dan pemeriksaan rutin sangat disarankan.

Gejala kerap disalahartikan

Umumnya kanker empedu diketahui pada stadium lanjut di usia senior karena gejalanya mirip dengan penyakit lain. “Gejala awal kanker empedu kerap disalahartikan atau tidak disadari. Gejala bisa mencakup nyeri di perut kanan atas, penyakit kuning, urin gelap, tinja pucat, mual, penurunan berat badan tanpa sebab, hingga gatal-gatal,” ujar Prof Ikhwan dalam edukasi kanker empedu yang dihelat AstraZeneca di Jakarta, baru-baru ini.

Prof. Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM, M.Epid, M.Pd.Ked., FINASIM, FACP (dok. Berandasehat.id)

Pasien bahkan mengira begah yang dirasakan sebagai gejala maag. “Jadi minum antasida. Padahal saat diperiksa itu kanker empedu,” lanjut Prof Ikhwan.

Kanker saluran empedu menurutnya banyak diderita perempuan. “Batu empedu lebih banyak dialami perempuan. Ada istilah fat, forty, female. Perempuan lebih mungkin jadi gemuk sehingga lebih mudah terbentuknya batu empedu. Walaupun batu empedu bukan jadi kanker, tapi ada sekian persen risiko,” urai Prof Ikhwan.

Warga Asia, khususnya Cina, India dan Korea lebih mungkin mengalami kanker empedu. “Penyebab pastinya tidak diketahui. Mungkin karena gaya hidup, pola makan atau infeksi tapi itu masih ditelusuri. Yang penting ada kesadaran masyarakat jika ada keluhan terus menerus sebaiknya mendatangi dokter yang sesuai jika ada gejala yang mengarah kanker,” tutur Prof Ikhwan.

Spesialis kanker itu mendorong masyarakat untuk selekasnya memeriksakan diri ke dokter jika mengalami mual kembung berkepanjangan.

“Mual kembung sudah lama diobati tapi masih begitu-begitu saja harus dicurigai ada yang lain. Pasien dan dokter harus lebih aware dan memikirkan itu bukan maag biasa. Perlu pemeriksaaan lebih lanjut untuk tahu kondisi organ dalam perut, diteropong apakah ada masalah di lambung. Apakah perlu CT scan,” bebernya.

Lebih lanjut dia menyampaikan, terbentuknya kanker tidak tiba-tiba atau dalam durasi singkat, melainkan butuh waktu panjang. “Untuk menjadi kanker butuh waktu panjang terhadap perubahan sel tubuh. Terkait pola makan, pada umummya kanker berhubungan dengan makanan karsinogenik, misalnya konsumsi daging merah dalam jumlah banyak dapat memicu pembentukan zat yang merusak sel tubuh,” urai Prof Ikhwan.

Meski keganasan kanker empedu umumnya di usia lanjut, pada pasien kanker empedu di usia muda mungkin terkait dengan genetik. “Kanket empedu bisa ditemukan di usia muda, pada orang dengan penyakit saluran empedu sedari lahir yang bisa berubah menjadi kanker,” ujar Prof Ikhwan.

Pada orang gemuk/obesitas, pembentukan kanker terkait dengan metabolisme lemak. “Pada kasus obesitas  lemak berisiko diolah menjadi radikal bebas dalam tubuh yang bisa merusak sel. Radikal bebas inilah yang memicu kanker,” imbuhnya.

Mengingat kerap ditemukan di stadium lanjut, penting untuk melakukan deteksi dini kanker empedu dengan pemeriksaan seperti USG, CT scan, MRI, dan tes fungsi hati – yang diyakini dapat membantu mendeteksi secara akurat sebelum kanker berkembang lebih jauh.

Penanganan kanker pun idealnya melibatkan pendekatan multidisiplin, dari hepatolog, onkolog, ahli bedah, patolog, hingga perawat terlatih untuk memastikan pasien mendapatkan terapi yang menyeluruh dan terkoordinasi.

Terapi kombinasi

Terapi kanker empedu di Indonesia menggunakan kombinasi kemoterapi dan imunoterapi. Kombinasi ini memperkuat sistem imun sekaligus menyerang sel kanker secara langsung, membuka harapan baru bagi pasien stadium lanjut.

Menurut Prof Ikhwan, terapi ini menjadi salah satu opsi yang menjanjikan dalam meningkatkan kelangsungan hidup pasien.

“Obat kanker dan tindakan yang kita kerjakan harus sesuai indikasinya. Dampak lain juga harus diperhatikan,” lanjut Prof Ikhwan.

Gejala dan faktor risiko kanker empedu

Sayangnya, obat-obatan inovatif seperti imunoterapi untuk kanker belum masuk listing Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Terkait hal itu, Esra Erkomay, Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia mengatakan AstraZeneca berkomitmen untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam penanganan penyakit tidak menular, termasuk kanker. 

“Salah satu fokus kami adalah edukasi kesehatan mengenai kanker, termasuk kanker saluran empedu, sebagai langkah penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat,” ujar Esra.

Kurangnya pemahaman dan kesadaran terhadap kanker empedu masih menjadi tantangan utama dalam penanganannya, sehingga banyak pasien baru terdiagnosis ketika sudah berada pada stadium lanjut sehingga lebih sulit ditangani.

Terkait obat kanker inovatif, dr. Feddy, Head of Medical Affairs AstraZeneca Indonesia menambahkan saat ini AstraZeneca tengah mengusahakan agar obat imunoterapi bisa diakses lebih luas. “Saat ini belum masuk JKN dan baru bisa diakses pasien secara mandiri. Kami juga mengupayakan bantuan pengobatan pasien,” ujarnya. (BS)