Berandasehat.id – Anak berkebutuhan khusus, termasuk tunanetra ganda atau bahkan majemuk, dapat menunjukkan prestasi jika mendapatkan pengasuhan dan didikan yang sesuai dengan bakat dan minat mereka. Hal itu dibuktikan oleh Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala yang mendidik anak tunanetra ganda. Yayasan di bilangan Jakarta Timur itu akan menggelar pergelaran musikal Cahaya Hati pada 22 Juli 2025 di The Ballroom Djakarta Theatre.

Poppy Hayono Isman yang bertindak sebagai direktur kreatif  bersama Maya Djamhari Sirat, mengatakan pertunjukan Cahaya Hati diwujudkan melalui musik, lirik, kostum, dan narasi yang menyentuh hati. 

“Pergelaran ini menghadirkan 250 penampil, termasuk musisi, tokoh masyarakat, serta individu yang peduli terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak tunanetra ganda. Alumni dan siswa Yayasan Rawinala juga akan tampil di gelaran ini,” kata Poppy dalam temu media di Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Tunanetra ganda merujuk pada sebuah kondisi dimana penyandangnya memiliki dua atau lebih keterbatasan, utamanya pada indra penglihatan. 

Sejumlah nama akan mengisi pergelaran Cahaya Hati, di antaranya Aru Sudoyo, Eddy Tobing, Hayono Isman, Katyana, Louis Bertrand, Marlinda Adam, Michael Sean, Meiske Hutapea, Prasetio, Selma, serta Paduan Suara MSI Melati Menur, Rawinala, Pranagita, Gita Prodia, Jala Madhuswara. 

Louis Bertrand, salah satu siswa Yayasan Rawinala siap tampil di gelaran musikal Cahaya Hati di Ballroom Djakarta Theater (dok. Berandasehat.id)

Pergelaran musikal makin menarik dengan iringan musik Terrence Band, musisi Dameria Hutabarat, Michael Kwok, Maulid Habiby, Nadya Pramudita, Sonar Panigoro, Verrel Wicaksono.

Untuk diketahui, Michael Kwok merupakan pianis Indonesia dengan disabilitas tunanetra dan berkebutuhan khusus (autis) yang sempat menimba ilmu di Rawinala. Di tengah keterbatasan, Michael memiliki memori audio yang luar biasa dan memungkinkannya menggerakkan jari-jarinya di tuts piano secara akurat.

Michael bahkan menjadi pianis tunanetra ganda pertama yang telah menpergelar resital piano tunggal di panggung Sydney Opera House.

“Pergelaran musikal ini menjadi tempat di mana musik dan solidaritas berpadu, menghadirkan pertunjukan yang memukau sekaligus sarat makna,” kata Ketua Yayasan Rawinala Endang Hoyaranda.

Endang yang bertindak sebagai ketua pelaksana pergelaran Cahaya Hati menyampaikan bahwa dalam kegelapan, sebuah cahaya kecil bisa menerangi langkah. “Cahaya Hati bukan sekadar pergelaran musikal. Ini adalah panggilan bagi hati yang peduli, sebuah kesempatan untuk menjadi bagian dari perubahan, dan simbol harapan bagi anak-anak penyandang tunanetra ganda,” terangnya.

Lebih lanjut Endang mengatakan, dengan pendekatan holistik dan berbasis inklusi, Rawinala berkomitmen membuka peluang bagi anak-anak tunanetra ganda agar dapat berkembang secara optimal dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri.

“Pendidikan inklusif adalah hak, bukan keistimewaan. Pergelaran Cahaya Hati adalah bentuk kepedulian nyata dari berbagai pihak yang ingin membantu anak-anak tunanetra ganda memiliki masa depan lebih cerah. Ini tentang harapan, tentang keberanian, dan tentang kekuatan kita semua untuk berbuat baik,” Endang memaparkan.

Membangun sekolah musik dan sheltered workshop

Hasil pengumpulan dana pergelaran musikal Cahaya Hati dari para donatur dan masyarakat akan digunakan untuk membangun sekolah musik untuk anak berkebutuhan khusus di dalam kampus Rawinala, serta mengembangkan ‘sheltered workshop’ untuk pemberdayaan murid Rawinala sebagai bekal setelah lulus.

Terkait dengan pendidikan anak berkebutuhan khusus, Rini Prasetyaningsih, selaku pakar multidisable with visual impairment Yayasan Rawinala menyampaikan bahwa anak-anak dengan tunanetra  ganda membutuhkan lingkungan yang penuh kasih dan dukungan. 

“Dengan perhatian dari masyarakat dan akses ke pendidikan yang tepat, mereka bisa berkembang secara optimal dan menjalani kehidupan yang lebih mandiri,” ujarnya.

Diakui Rini, mendidik anak dengan tunanetra ganda sungguh tidak mudah. “Saat kita mengajar apa yang kita ajarkan belum langsung bisa dipahami. Namun ini tak menjadi hambatan bagi guru karena mereka sudah dibekali keterampilan dalam pengajaran anak berkebutuhan khusus,” tuturnya.

Anak dengan tunanetra ganda – bahkan majemuk – tak cukup ditangani satu guru dalam kelas yang terdiri dari maksimal lima anak. “Tidak bisa banyak-banyak dalam satu kelas karena tiap siswa memiliki kebutuhan berbeda, dan guru yang terlibat dalam satu kelas lebih dari satu,” ujar Rini.

Tim kreatif dan inisiator pertunjukan musikal Cahaya Hati (dok. Berandasehat.id)

Meskipun peminat untuk belajar di Yayasan Rawinala tinggi, namun jumlah siswa yang bisa ditangani terbatas. “Maksimal hanya bisa menampung 60 siswa. Dan belum tentu tiap tahun siswa ada yang lulus,” terang Rini seraya menyampaikan anak didik ‘harus lulus’ dari Rawinala saat usia maksimal 20 tahun.

Endang menambahkan, data menyebut ada sekitar 30 ribu anak dengan disabilitas majemuk di Indonesia dan jumlah yayasan yang mampu menampung dan mendidik mereka jumlahnya terbatas.

“Rawinala ingin agar anak-anak ini berdaya. Suara mereka didengar, makanya perlu dibunyikan ke masyarakat salah satunya lewat musik sebagai bahasa universal. Kebetulan, banyak anak Rawinala yang punya bakat di bidang musik,” ujarnya.

Endang menambahkan, Yayasan ingin memiliki sekolah musik bagi anak-anak berkebutuhan khusus. “Nantinya itu akan jadi tempat anak-anak Rawinala belajar, namun anak berkebutuhan khusus dari luar juga bisa menimba ilmu,” tandasnya. (BS)