Berandasehat.id – Pradiabetes lebih mengancam jiwa pada orang berusia 20–54 tahun dibandingkan pada populasi yang lebih tua, menurut sebuah makalah yang diterbitkan di JAMA Network Open, edisi 7 Agustus.
Bukti yang saling bertentangan tentang hubungan antara pradiabetes dan mortalitas mendorong para peneliti Universitas Buffalo untuk melakukan penelitian ini.
“Literatur tidak konsisten, terutama ketika memperhitungkan faktor-faktor pengubah utama, seperti usia, ras/etnis, dan komorbiditas,” kata penulis pertama Obinna Ekwunife, Ph.D., asisten profesor kedokteran di Jacobs School of Medicine and Biomedical Sciences di UB.
Untuk itu, tim peneliti ingin mengeksplorasi apakah faktor-faktor ini memengaruhi hubungan antara pradiabetes dan mortalitas pada populasi dewasa AS yang representatif secara nasional.
Pradiabetes merupakan kondisi ketika gula darah lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dianggap diabetes.
Para peneliti menganalisis data dari Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional (NHANES), survei nasional yang sedang berlangsung yang dijalankan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) yang mengukur kesehatan dan gizi anak-anak dan orang dewasa.
Studi terdiri dari data mencakup 38.093 responden, di mana 9.971 (26,2%) di antaranya menderita pradiabetes. Orang dewasa berusia 20 tahun ke atas juga diikutsertakan.
Peserta dianggap pradiabetes jika melaporkan sendiri bahwa mereka mengalaminya, atau jika hemoglobin A1c – rata-rata kadar glukosa darah tiga bulan – berada di antara 5,7% hingga 6,4%.
Data menunjukkan hubungan yang signifikan antara pradiabetes dan mortalitas sebelum para peneliti mengendalikan variasi di antara demografi, faktor gaya hidup, dan komorbiditas.

Namun setelah mereka mengendalikan faktor-faktor tersebut, hubungan tersebut menghilang.
Hubungan yang signifikan antara pradiabetes dan kematian
Namun, peneliti menemukan bahwa hubungan yang signifikan antara pradiabetes dan mortalitas (kematian) tetap terjaga setelah penyesuaian ketika analisis difokuskan pada orang dewasa berusia 20–54 tahun, menurut Ekwunife.
Ia menjelaskan bahwa ada kemungkinan lansia lebih mungkin memiliki komorbiditas, sehingga kondisi kronis tersebut dapat menutupi dampak pradiabetes.
“Kemungkinan lain adalah pradiabetes pada dewasa muda mungkin mencerminkan lintasan penyakit yang lebih merugikan dengan kejadian disfungsi metabolik yang lebih dini,” lanjutnya.
Kemungkinan lain untuk hubungan ini adalah predisposisi genetik yang lebih kuat, yang menyebabkan perkembangan penyakit yang lebih cepat, serta disparitas kesehatan, seperti berkurangnya akses ke perawatan atau lebih rendahnya keterlibatan dalam perawatan pencegahan rutin di antara populasi yang lebih muda.
Skrining lebih awal
Apa pun penyebabnya, kata Ekwunife, temuan ini mencerminkan perlunya memberikan perhatian lebih pada identifikasi dan intervensi dini untuk pradiabetes di kalangan dewasa muda.
“Kita mungkin perlu melakukan skrining A1C lebih awal pada orang yang lebih muda,” katanya. “Hal itu akan sangat penting bagi individu dengan faktor risiko tambahan seperti obesitas, riwayat keluarga diabetes, atau kerugian sosial ekonomi.”
Temuan ini juga menggarisbawahi pentingnya menyesuaikan program pencegahan diabetes agar lebih mudah diakses dan menarik bagi populasi yang lebih muda, misalnya dengan menggabungkan hal-hal seperti platform virtual, model yang dipimpin oleh rekan sejawat, atau strategi keterlibatan yang lebih fleksibel seperti gamifikasi atau modul pendidikan sesuai permintaan.
“Dokter harus menyadari bahwa intervensi dini dapat mencegah perkembangan diabetes dan kematian dini dan memberikan pasien kesempatan untuk membuat perubahan gaya hidup proaktif guna mencegah perkembangan penyakit,” tandas Ekwunife. (BS)