Berandasehat.id – Prevalensi presbiopia (mata tua) secara global terus meningkat seiring bertambahnya harapan hidup dan intensitas tuntutan penglihatan dekat di era modern, seperti penggunaan ponsel. Padahal kalangan 45 tahun ke atas biasanya mulai menjalani usia emas lantaran berada di puncak periode produktif, atau sedang menikmati masa senior bersama keluarga.
Data menyebut, sekitar 86,3 juta populasi Indonesia berusia 45 tahun ke atas terancam presbiopia atau mata tua, yakni penurunan kemampuan akomodasi lensa mata yang menyebabkan kesulitan melihat benda dekat.
Penggunaan kacamata dianggap sebagai solusi lazim bagi para penyandangnya – yang sayangnya berpotensi menghambat aktivitas, bahkan menurunkan kualitas hidup.
Menurut Dr. Nashrul Ihsan, Sp.M(K), Dokter Subspesialis Katarak, Lensa dan Bedah Refraktif JEC Eye Hospitals and Clinics, presbiopia yang tidak terkoreksi mengakibatkan penderita dua kali lebih sulit melakukan tugas-tugas yang membutuhkan penglihatan jarak dekat. “Kesulitan ini meningkat hingga delapan kali lipat untuk tugas penglihatan jarak dekat yang sangat intens,” ujarnya.
Gejala khas mata tua
Presbiopia memiliki gejala khas yang mudah dikenali dalam keseharian, antara lain kesulitan melihat objek atau tulisan pada jarak dekat. Secara naluriah, penderitanya akan menjauhkan objek tersebut agar dapat terlihat/terbaca dengan lebih jelas.

Kondisi itu sering disertai dengan gejala sekunder berupa kelelahan mata, sakit kepala setelah membaca atau melakukan pekerjaan detail dengan fokus pandangan jarak dekat (seperti memasukkan benang ke jarum atau membaca label barang berhuruf kecil).
Presbiopia juga membuat penderita membutuhkan pencahayaan yang lebih terang saat membaca. Gejala-gejala ini umumnya mulai muncul secara bertahap pada usia 40-an dan menjadi semakin nyata setelah usia 45 tahun, sejalan dengan proses penurunan kemampuan akomodasi lensa mata yang merupakan bagian alami dari proses penuaan.
Solusi mata tua dengan penggantian lensa mata
Ada solusi atasi prebiopia selain pemakaian kacamata, yakni menggunakan prosedur Refractive Lens Exchange (RLE), penggantian lensa mata yang bertujuan mengurangi kebutuhan kacamata/lensa kontak.
Diperkuat teknologi Femtosecond Laser-Assisted Cataract Surgery (FLACS) dengan presisi tinggi dan minim risiko, prosedur RLE memungkinkan kalangan pasien presbiopia segera terbebas dari ketergantungan berkacamata atau menggunakan lensa kontak.
“Imbas presbiopia melibatkan komponen psikologis karena penyandangnya menganggap opsi kacamata bifokal sangatlah tidak menarik, dan seolah menandai penuaan. Sementara, rata-rata penderita presbiopia masih menjalani gaya hidup aktif sehingga penggunaan kacamata dapat menghalangi performa dalam beraktivitas,” ujar dr. Nashrul.
“RLE menjadi prosedur ideal bagi mereka yang tidak nyaman mengenakan kacamata dan menginginkan solusi jangka panjang,” lanjutnya.
RLE merupakan prosedur penggantian lensa alami mata yang sudah tidak berfungsi optimal dengan lensa tanam (intraokular lens/IOL). Keandalan prosedur RLE tak hanya efektif untuk mengoreksi presbiopia, tetapi juga gangguan refraksi lainnya, seperti mata minus (miopia), mata plus (hipermetropia), dan silinder (astigmatisme) – semuanya dalam satu tindakan.
Keunggulan lain RLE, dari tingkat keberhasilan tindakan, rasionya mencapai 98,5 persen. “Risiko 1,5 persen komplikasi operasi biasanya bisa dikoreksi dengan operasi lanjutan,” tandas dr. Nashrul. (BS)