Berandasehat.id – Penyebaran dokter spesialis di Indonesia belum merata, hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sebagai contoh, jumlah dokter spesialis neurologi seluruh Indonesia saat ini 2.700. Dari jumlah itu, Jakarta memiliki lebih dari 400 neurolog, sementara enam provinsi di Papua hanya memiliki 21 dokter spesialis neurologi, demikian salah satu topik yang mengemuka di Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Perhimpunan Dokter Spesialis Neurologi Indonesia (PERDOSNI) 2025 di Bandung, Jawa Barat.
Mukernas yang berlangsung 22-24 Agustus 2025 menjadi ajang diskusi berbagai pihak yang kompeten di bidangnya, termasuk upaya ‘menambal’ kekurangan dokter spesialis di tanah air.
Dirjen Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Azhar Jaya mengatakan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) berbasis rumah sakit (hospital based) menjadi salah satu cara untuk pemerataan dokter spesialis. “Program ini dirancang untuk mengatasi kekosongan dokter spesialis, khususnya di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) dengan melengkapi program produksi dokter spesialis yang sudah ada,” ujarnya di acara diskusi Mukernas PERDOSNI 2025 di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (23/8/2025).
Kemenkes sebelumnya telah menggulirkan rencana percepatan PPDS berbasis rumah sakit yang bertujuan menyetarakan kualitas lulusan dan mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter spesialis di daerah, khususnya wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Diperkirakan kebutuhan dokter spesialis mencapai 70.000 hingga 2032, sementara lulusan dokter spesialis per tahun hanya 2.700, masih jauh dari kebutuhan.
Ada berbagai penyebab Indonesia kekurangan dokter spesialis, antara lain kurangnya program studi di perguruan tinggi, hingga sistem pendidikan spesialis yang dianggap membebani calon peserta karena butuh biaya tinggi.

PPDS berbasis rumah sakit merupakan jalur pendidikan dokter spesialis yang dilakukan langsung di Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara Utama (RSPPU), berbeda dengan jalur PPDS berbasis universitas.
Untuk program PPDS hospital based, Kemenkes memberikan berbagai kemudahan bagi peserta, di antaranya seperti pembebasan biaya kuliah, status sebagai pegawai di RSPPU, serta bantuan biaya hidup bulanan.
Pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit ini berlaku bagi dokter umum yang sudah bekerja di rumah sakit daerah. “Mereka akan dikirim untuk mengambil pendidikan spesialis dan terikat kontrak untuk kembali bekerja di daerah asalnya setelah lulus. Jadi sifatnya ikatan dinas. Selama menjadi PPDS mereka tetap digaji dan menerima insentif,” tutur dr. Azhar.
Peningkatan hospitality dan kerja sama tim
Lebih lanjut dr. Azhar menyoroti pentingnya meningkatkan keterampilan tenaga medis Indonesia, termasuk aspek hospitality dan kerja sama tim dalam pelayanan kesehatan. Menurutnya, kemampuan dokter Indonesia tidak kalah dari dokter luar negeri.
Bahkan, sejumlah dokter dari negara lain justru datang ke Indonesia untuk belajar menangani kasus sulit dan beragam.
“Banyak dokter luar negeri datang belajar ke kita karena kasus yang ditangani di sini sangat beragam dan kompleks. Dari sisi teknis, dokter Indonesia tidak kalah namun memang hospitality dan kerja sama harus ditingkatkan,” terangnya.
Kemenkes tengah menyusun kebijakan pelayanan pasien yang berbasis kerja tim, bukan lagi individual seperti sebelumnya, guna mengatasi kendala tersebut.
Pentingnya sistem pendidikan terintegrasi
Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbudristek, Prof. Dr. med. Setiawan, dr., menyoroti pentingnya pendidikan neurologi yang transformatif dan berkeadilan. Dalam hal ini, UU Kesehatan dan PP No 28 sudah mengatur integrasi antara sistem pendidikan dan sistem kesehatan.
Dalam upaya mendukung pemerataan pendidikan medis, terutama di daerah-daerah yang kekurangan tenaga medis, Prof Setiawan menyatakan bahwa sistem pendidikan yang terintegrasi dengan sektor kesehatan dapat menghasilkan spesialis yang memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.
“Kami di sektor pendidikan siap mendukung program-program pemerintah, dengan memperhatikan kebutuhan tenaga medis di daerah-daerah,” tuturnya.
Salah satu inisiatif yang sedang dijalankan adalah penambahan kuota calon dokter dan program pendanaan untuk daerah tertinggal. Selain itu, pendidikan spesialis yang mandiri juga direncanakan untuk ditempatkan di rumah sakit-rumah sakit yang membutuhkan.
Dia juga menekankan pentingnya sistem kesehatan akademik dan kolaborasi. Menurutnya, sistem kesehatan akademik, integrasi antara sistem layanan kesehatan dengan proses akademik, dipandang sebagai best practice yang dapat menjadi contoh.
Lebih lanjut Prof Setiawan menyampaikan bahwa pendidikan dokter tidak hanya berfokus pada kompetensi klinis individu tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat.
Mutu pendidikan dokter spesialis sangat erat kaitannya dengan mutu layanan kesehatan itu sendiri. Untuk itu, pengajar/dosen harus didukung sumber daya manusia (SDM) dan sarana-prasarana yang memadai. “Dalam konteks ini, kerja sama antara institusi pendidikan dan fasilitas layanan kesehatan menjadi hal penting,” bebernya.
Peran organisasi profesi mendorong pendidikan transformatif dan berkelanjutan
Peran organisasi profesi sangat krusial dalam mendorong pendidikan yang transformatif dan berkelanjutan. Terkait hal itu, Ketua Pengurus Pusat PERDOSNI Dr. dr. Dodik Tugasworo P, Sp.S(K) mengatakan, sebagai organisasi profesi dokter spesialis neurologi, PERDOSNI memiliki tanggung jawab dalam berbagai bidang, mencakup Pelayanan, Pendidikan dan Penelitian.
“Di bidang Pendidikan, PERDOSNI memiliki komitmen kuat bersama masyarakat mendidik generasi baru dokter spesialis neurologi yang kompeten dan berintegritas,” ujarnya.

Dr. Dodik menyampaikan, jumlah dokter neurologi di tanah air saat ini mencapai 2.700 orang, tersebar di berbagai provinsi, dengan 34 cabang PERDOSNI, dari Aceh sampai Papua. “Alhamdulillah memang dari sisi jumlah mungkin kelihatannya banyak, tapi dari sisi penyebarannya, Indonesia Timur masih belum merata,” ujarnya.
Untuk meminimalkan ketimpangan, PERDOSNI telah menambah center-center di pusat pendidikan. “Yang tadinya baru 14, sekarang sudah 19, termasuk UPH (Universitas Pelita Harapan) dan Rumah Sakit Pusat Otak Nasional. Jadi saat ini ada 19 tempat center pendidikan,” ujarnya.
Melalui kolaborasi antara sektor pendidikan, kesehatan, dan organisasi profesi, para pihak yang terlibat percaya bahwa kesehatan otak dan pendidikan neurologi yang berkualitas akan memperkuat ketahanan nasional Indonesia. (BS)