Berandasehat.id – Diabetes, sepertinya halnya hipertensi, kemungkinan akan menjadi pembunuh senyap karena banyak orang tak menyadari telah mengidapnya. Di Amerika Serikat saja, satu dari lima dari 37 juta orang dewasa yang menderita diabetes namun tidak mengetahuinya.
Metode diagnosis diabetes dan pradiabetes saat ini biasanya memerlukan kunjungan ke dokter atau pemeriksaan laboratorium, yang keduanya bisa mahal dan memakan waktu. Namun ada kabar baik: Kini, mendiagnosis diabetes dan pradiabetes mungkin semudah bernapas.
Sebuah tim peneliti yang dipimpin oleh Huanyu ‘Larry’ Cheng, James L. Henderson, Jr., Profesor Madya Teknik dan Mekanika Memorial di Penn State, telah mengembangkan sensor yang dapat membantu mendiagnosis diabetes dan pradiabetes di tempat dalam beberapa menit hanya dengan menggunakan sampel napas.
Adapun metode diagnostik sebelumnya sering menggunakan glukosa yang ditemukan dalam darah atau keringat, tetapi sensor ini mendeteksi kadar aseton dalam napas. Meskipun napas setiap orang mengandung aseton sebagai produk sampingan dari pembakaran lemak, kadar aseton di atas ambang batas sekitar 1,8 bagian per juta mengindikasikan diabetes.
“Meskipun kami memiliki sensor yang dapat mendeteksi glukosa dalam keringat, sensor ini mengharuskan untuk mengeluarkan keringat melalui olahraga, bahan kimia, atau sauna, yang tidak selalu praktis atau nyaman,” kata Cheng yang telah mempublikasikan hasil studi di Chemical Engineering Journal.
“Sensor yang kami buat hanya mengharuskan Anda mengembuskan napas ke dalam kantong, mencelupkan sensor, dan menunggu beberapa menit untuk mendapatkan hasilnya,” imbuhnya.

Cheng mengatakan bahwa sudah ada sensor analisis napas lain, tetapi sensor tersebut mendeteksi biomarker (penanda biologis) yang memerlukan analisis laboratorium. Aseton dapat dideteksi dan dibaca di tempat, sehingga sensor baru ini hemat biaya dan nyaman.
Selain menggunakan aseton sebagai biomarker, Cheng mengatakan bahwa hal baru lainnya dari sensor ini terletak pada desain dan material, terutama grafena yang diinduksi laser.
Untuk membuat material ini, laser CO2 digunakan untuk membakar material yang mengandung karbon, seperti film polimida dalam penelitian ini, untuk menciptakan grafen berpori berpola dengan cacat besar yang diinginkan untuk penginderaan.
Para peneliti menggunakan grafena yang diinduksi laser karena sangat berpori, yang berarti dapat memungkinkan gas melewatinya. Kualitas ini menghasilkan peluang lebih besar untuk menangkap molekul gas, karena embusan napas mengandung konsentrasi kelembapan yang relatif tinggi.
Namun, grafena yang diinduksi laser itu sendiri tidak cukup selektif terhadap aseton dibandingkan gas lain dan perlu dikombinasikan dengan seng oksida. Sebuah sambungan terbentuk di antara kedua material ini yang memungkinkan deteksi aseton yang lebih selektif dibandingkan dengan molekul lain, menurut Cheng.
Cheng mengatakan bahwa saat ini, metode tersebut mengharuskan seseorang bernapas langsung ke dalam kantong untuk menghindari gangguan dari faktor-faktor seperti aliran udara di lingkungan sekitar.
Langkah selanjutnya adalah menyempurnakan sensor agar dapat digunakan langsung di bawah hidung atau ditempelkan di bagian dalam masker, karena gas dapat terdeteksi dalam kondensasi napas yang diembuskan.
“Jika kita dapat lebih memahami bagaimana kadar aseton dalam napas berubah seiring pola makan dan olahraga, sama seperti kita melihat fluktuasi kadar glukosa tergantung pada kapan dan apa yang dimakan seseorang, ini akan menjadi peluang yang sangat menarik untuk menggunakan ini untuk aplikasi kesehatan di luar mendiagnosis diabetes,” tandas Cheng. (BS)