Berandasehat.id – Obesitas menjadi isu hangat dalam beberapa tahun terakhir karena jumlahnya kian melejit di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Banyak yang beranggapan obesitas disebabkan oleh kemalasan atau kurangnya disiplin. Meskipun pola makan sehat dan olahraga penting, terkadang hal tersebut tidak cukup untuk menangkal kegemukan.
Faktanya, obesitas adalah penyakit kronis yang multifaktorial, dipengaruhi oleh faktor genetik, biologis, lingkungan, dan sosial, sehingga membutuhkan solusi komprehensif di luar tekad semata.
Obesitas dapat diukur dengan menggunakan Indeks Massa Tubuh (BMI). Menurut dokter spesialis gizi klinik Diana Suganda, saat BMI menunjuk di atas angka 25 itu masuk kategori obesitas, menurut panduan WHO Asia Pasifik.
Cara hitung BMI adalah berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m²). Ubah tinggi badan dari sentimeter ke meter, kuadratkan hasilnya, selanjutnya bagi berat badan dalam kg dengan angka tersebut untuk mendapatkan nilai BMI.
“Kalau memang angka sudah menunjukkan BMI di kategori obesitas, segera cari bantuan, misalnya ke dokter gizi. Jangan tunda-tunda lagi,” ujar Diana di acara diskusi ‘Harapan yang Meringankan’ bersama Novo Nordisk di Jakarta, baru-baru ini.
Diana menyampaikan, obesitas tidak terjadi dalam semalam. “Itu proses yang berlangsung lama. Rasa lapar dan kenyang itu diatur oleh otak. Jadi perlu melatih otak kita untuk belajar mengenali rasa kenyang, dan itu butuh waktu. Misalnya dengan takaran porsi tertentu, kita berikan afirmasi ke otak, segini sudah cukup, nggak usah nambah lagi. Ini yang harus diafirmasi. Orang ingin craving macam-macam karena sinyal di otak mengisyaratkan belum kenyang,” ujarnya.

Dia menuturkan bahwa obsitas bukanlah kondisi baik-baik saja. “Badan itu bisa protes, misalnya tensi naik, haid berantakan, sakit lutut atau punggung. Itu jadi sinyal dari badan,” bebernya.
Saat pengaturan pola makan dan olahraga tak lagi membantu menurunkan berat badan, Diana mendorong penyandang obesitas mendatangi praktik dokter. “Dokter akan memeriksa dengan seksama apa masalahnya, karena pemicu obesitas berbagai faktor,” tuturnya.
Kesempatan sama, Dr. Elvieda Sariwati, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat di Kementerian Kesehatan RI, mengatakan obesitas menjadi ibu dari segala macam yang tak bisa dianggap remeh. “Peserta obesitas yang melakukan cek kesehatan punya peluang 1,5 hingga 2 kali lebih mungkin terkena hipertensi,” ujarnya.
Dia menyarankan agar setiap orang bisa melakukan pencegahan agar tidak obesitas. “Kalau masih bisa dicegah, sebaiknya dicegah jangan sampai obesitas. Kalau sudah obesitas, cari cara untuk mengatasinya. Kalau tak bisa mengatasinya sendiri, minta bantuan klinisi,” saran Elvieda.
Lebih lanjut Elvieda menekankan, sosialisasi obesitas perlu dilakukan sejak dini melalui edukasi lintas usia, di sekolah atau tempat kerja. “Jangan menanamkan kalau anak gemuk chubby itu lucu. Karena kalau sedari kecil gemuk, saat besar kemungkinan akan berlanjut kegemukan,” tuturnya.
Terkait isu obesitas yang kian menjadi ‘epidemi’ yang meresahkan, General Manager Novo Nordisk Indonesia Sreerekha Srinivasan menyampaikan hal menarik, yakni mayoritas orang yang hidup dengan obesitas di Indonesia menganggap itu kesalahan mereka. “Padahal, obesitas itu bukan tentang gaya hidup, hormonal juga memainkan peran. Obesitas itu penyakit, maka perlu bantuan dokter untuk penanganan masalah yang mendesak ini,” bebernya.
Perjalanan Audy Item lawan obesitas
Bicara obesitas, penyanyi Audy Item (42) membagikan pengalaman bagaimana dia harus berjuang dengan kegemukan dan mendapat cibiran dari warganet. “Jujur sempat down melihat komentar jahat di media sosial, dikata-katain dengan kalimat tidak pantas dengan sebutan binatang dan sebagainya. Dibilang tidak pantas untuk suami saya dan seterusnya. Padahal mereka nggak kenal, tapi komentarnya demikian jahat. Saya tidak berbuat apa pun yang merugikan mereka,” tutur istri bintang laga Iko Uwais.
Akibat penindasan daring terkait berat badannya, Audy mengaku tertekan dan trauma, hingga sempat vakum dari dunia hiburan.
Setelah menikah dan memiliki anak, Audy harus berjuang mengelola berat badan. Berat badannya bertambah 30 kg saat hamil anak pertama dan sulit turun setelah itu. “Udah mencoba berbagai pola makan untuk menurunkan berat badan, sempat hanya makan sebatang coklat aja dalam sehari selama berbulan-bulan hingga masuk rumah sakit,” ujar penyanyi Dibalas dengan Dusta.

Audy bukannya tak mau berusaha untuk turun berat badan. “Aku mencoba segala cara. Kadang memang cara yang aku ikuti bisa menurunkan berat badan. Tapi begitu stop, berat badan naik lagi,” beber ibu dua anak.
Hingga akhirnya Audy berkonsultasi dengan dokter gizi. Dari sini dia memahami bahwa setiap orang memiliki cara masing-masing dalam menurunkan berat badan.
Akhirnya, ia mengikuti program menurunkan berat badan yang disarankan oleh dokter spesialis gizi. Bukan cuma soal asupan makanan, dokter juga menyarankan jenis olahraga yang sesuai untuk membantu mengurangi berat badan.
“Hidup dengan obesitas tidak mudah. Orang sering berpikir itu sekadar mengurangi makan atau berolahraga lebih banyak, tapi kenyataannya jauh lebih kompleks,” ujar pelantun Menangis Semalam.
Audy mendorong setiap orang yang tengah berjuang melawan obesitas untuk mencari bantuan. “Jangan berjuang sendirian, carilah bantuan untuk membantu menurunkan berat badan,” tandasnya. (BS)