Berandasehat.id – Bagi pasien hipertensi paru, setiap tarikan napas adalah perjuangan. Hipertensi paru merupakan kondisi langka dan serius yang ditandai dengan tekanan darah tinggi pada pembuluh darah paru (arteri pulmonalis), sehingga memaksa jantung kanan bekerja lebih keras untuk memompa darah ke paru.

Kondisi ini dapat berujung pada gagal jantung kanan dan komplikasi yang mengancam jiwa jika tak lekas ditangani. Bersifat progresif dan fatal, hipertensi paru memiliki tingkat mortalitas yang tinggi dengan sekitar sepertiga dari total penderitanya meninggal dalam tahun pertama setelah diagnosis, lebih dari setengah kematian terjadi dalam lima tahun.

Meski berbahaya, hipertensi paru masih sering tidak terdeteksi atau salah dikenali. “Gejalanya sering menyerupai penyakit umum seperti asma atau gangguan jantung, sehingga banyak pasien menunggu bertahun-tahun sebelum mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat,” kata Wakil Ketua Hipertensi Paru Indonesia (INA-PH), dr. Hary Sakti Muliawan, Ph.D., Sp.JP, Subsp.P.R.Kv(K), dalam temu media di Jakarta, baru-baru ini.

Banyak pasien hipertensi paru yang datang dalam kondisi sudah berat karena gejala awal seperti sesak napas yang semakin berat saat beraktivitas dan mudah lelah sering dianggap hal biasa. “Padahal, itu bisa menjadi tanda awal hipertensi paru,” ujar dr. Hary.

Ketua Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), Arni Rismayanti menyampaikan hipertensi paru kerap menunjukkan karena gejala samar dan sering kali disalahartikan. Banyak pasien setelah bertahun-tahun merasa tidak baik-baik saja, akhirnya baru mengetahui dirinya mengalami hipertensi paru. “Mereka datang dalam keadaan lelah, bingung, dan sering kali salah diagnosis,” ujarnya.

Untuk itulah YHPI ada, menjadi rumah bagi para pasien hipertensi paru untuk saling menguatkan, mendapatkan informasi, serta dukungan.

Lebih lanjut Arni mengungkap, hipertensi paru tergolong penyakit langka dengan prevalensi sekitar 15 hingga 30 kasus per satu juta penduduk. Di Indonesia, data YHPI menyebutkan bahwa diperkirakan terdapat sekitar 25.000 pasien.

Penyakit hipertensi paru dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-anak, dan kejadiannya meningkat seiring bertambahnya usia. Namun demikian, wanita menjadi kalangan yang paling rentan terkena.

Edukasi publik dan peningkatan kapasitas tenaga medis perlu diperkuat agar diagnosis dapat dilakukan lebih dini dan akurat. Pasalnya, keterlambatan diagnosis ini sering membuat pasien kehilangan waktu berharga untuk mendapatkan pengobatan yang tepat, sehingga kondisi mereka sudah memburuk saat akhirnya terdeteksi.

Di sisi lain, penanganan hipertensi paru di Indonesia juga masih dihadapkan pada terbatasnya akses terhadap obat-obatan spesifik. Dari 15 jenis obat hipertensi paru yang telah disetujui di dunia, baru ada lima jenis yang tersedia di Indonesia, dan hanya dua jenis yang tercakup dalam sistem jaminan kesehatan nasional.

“Ini bukan hanya tentang angka, tapi tentang kesempatan hidup. Kami berharap semua pihak, termasuk pemerintah, dapat membuka jalan bagi akses pengobatan yang lebih luas dan setara bagi seluruh pasien. Karena setiap napas yang diperjuangkan adalah hak untuk hidup, bukan sekadar bertahan,” tandas Arni.

Yusnita Dewi, pasien hipertensi paru membagikan pengalamannya. Sejak kecil ia memiliki masalah pada paru, sempat menjalani histerektomi, hingga akhirnya terkena COVID-19. Setelah itu, Yusnita kerap merasa mudah lelah, mengalami pembengkakan, dan akhirnya didiagnosis gagal jantung dengan hipertensi paru primer.

“Saat dokter mengatakan saya harus menjalani terapi seumur hidup, rasanya dunia runtuh, seolah semua harapan saya hilang. Apalagi, tidak semua obat yang saya butuhkan tersedia di Indonesia,” ujarnya.

Mimpi Yusnita sederhana, dia berharap para pasien hipertensi paru dapat memperoleh akses pengobatan yang lebih baik, serta mendapat dukungan moral dan sosial dari berbagai pihak. (BS)