Berandasehat.id – Individu berkebutuhan khusus (IBK) disabilitas mental dan intelektual perlu diberi ruang untuk menunjukkan potensi dan peluang kerja agar bisa mandiri. Dalam upaya membuka akses kesempatan kerja bagi individu berkebutuhan khusus (special talent), My JCDC dan Yayasan Cita Anak Bangsa (YCAB) meluncurkan Special Career Day 2025 – Inclusive Career & Talent Forum.
Acara itu menjadi forum karier inklusif yang secara khusus memberi ruang bagi IBK untuk tampil dan terhubung dengan dunia kerja.
“Special Career Day 2025 ini merupakan forum keempat yang diadakan oleh My JCDC, menjadi agenda tahunan kami sejak 2022. Kami berharap acara ini bisa berdampak positif dengan membuka peluang karier yang lebih inklusif bagi individu berkebutuhan khusus,” ujar Nadia Emanuella, Direktur Pelaksana My JCDC di acara Special Career Day 2025 yang dihelat di My JCDC Kedoya, Rabu (10/12).
Di acara ini, para special talent diberikan ruang untuk menunjukkan kemampuan mereka, alih-alih sebagai penerima bantuan, melainkan sebagai calon tenaga kerja produktif dan kompeten. Dengan demikian, perusahaan dan pemangku kebijakan dapat didorong untuk membuka akses kerja yang adil, memperluas definisi inklusivitas bukan hanya pada disabilitas fisik atau sensorik, tetapi juga mental dan intelektual.
“Penyandang disabilitas mental/ intelektual juga memiliki potensi nyata, kreativitas, dan kontribusi jika diberi kesempatan dan lingkungan yang mendukung,” tutur Nadia.

Pendekatan ini tidak hanya menantang stigma yang masih melekat, tetapi juga membuka pintu dialog untuk menciptakan ekosistem kerja yang lebih inklusif.
Special talent bukan beban
Psikolog dari Universitas Tarumanegara Meiske Yunithree Suparman mengatakan individu berkebutuhan khusus (IBK) bukanlah beban. “Mereka dapat membantu kita, bukan jadi beban. Mereka itu disiplin dan tepat waktu, mengajarkan kita banyak hal. IBK bisa bekerja, hanya porsi kerja dan detailnya berbeda. Jangan lupa mereka ini punya potensi jika diberi kesempatan,” ujarnya di kesempatan sama.
IBK, sebut Meiske, memiliki profil unik yang bisa dikembangkan menjadi produktif. “Mereka ini rigid dan punya loyalitas tinggi. Tinggal bagaimana kita semua berkolaborasi dan memfasilitasi untuk membuka kesempatan agar terbuka luas,” beber Meiske.
Dia mencontohkan, lembaga swasta bisa berkontribusi dengan melakukan pelatihan. “Pembekalan oleh institusi seperti ini bisa membuat anak berkebutuah khusus makin pede (percaya diri),” Meiske menambahkan.
Lini Septiana Kepala BPJS Ketenagakerjaan Cabang Tangerang Selatan Ciputat sepakat bahwa anak berkebutuhan khusus bisa produktif jika diberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan mereka. “Untuk anak special talent bisa diberikan pekerjaan kearsipan atau data entry. Selain itu, harus diciptakan lingkungan kondusif jauh dari suara mengganggu agar mereka bisa fokus,” ujarnya.

Lini menyampaikan anak special talent punya kesempatan yang sama di dunia kerja, asalkan diberikan pelatihan, difasilitasi dan diberikan peluang untuk unjuk kemampuan. “Dengan begitu mereka bisa mandiri, tidak terlalu tergantung pada orang lain,” imbuhnya.
Pemisahan data jadi fondasi penting buka akses kerja berkeadilan
Data merupakan fondasi penting untuk membuka akses kerja yang setara dan berkeadilan. Namun hingga kini, pendataan penyandang disabilitas di Indonesia (termasuk yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta), masih menggabungkan kategori fisik, sensorik, mental, dan intelektual dalam satu kelompok besar.
Ketiadaan pemisahan data membuat jumlah penyandang disabilitas mental dan intelektual tidak dapat diidentifikasi secara akurat. Di saat yang sama, berbagai penelitian menunjukkan bahwa mayoritas penyandang disabilitas di Indonesia masih berada di sektor informal, dan hanya sebagian kecil yang bertransisi ke pekerjaan formal.
Situasi ini mencerminkan adanya kesenjangan peluang yang luas antara potensi talenta disabilitas dan kesempatan yang tersedia dalam pasar kerja.
“Ketika data saja belum bisa menunjukkan dengan jelas siapa dan berapa jumlah penyandang disabilitas mental, maka agak sulit kesempatan kerja bisa dibuka seluas-luasnya,” jelas Anna Soenardi, Ketua Yayasan Cita Anak Bangsa, pelaksana acara Special Career Day 2025.

Special Career Day menunjukkan bahwa talenta disabilitas itu nyata, beragam, dan mereka sama-sama memiliki hak dan layak mendapatkan dan diberi panggung serta kesempatan kerja yang adil sesuai hak asasi manusia. “Inklusif bukan soal belas kasih. Inklusif adalah soal kesempatan, penghargaan, dan keadilan,” beber Anna.
Inisiatif ini juga diharapkan dapat menjadi momentum untuk mendorong pemerintah, swasta dan Lembaga terkait memperbaiki pendekatan pendataan, khususnya terkait disabilitas mental dan intelektual yang selama ini kurang teridentifikasi secara jelas.
Harapannya, dengan data yang lebih akurat, kebijakan ketenagakerjaan dapat dirancang lebih tepat sasaran. (BS)