Berandasehat.id – Penyakit gusi bukan semata urusan rongga mulut, namun juga berdampak ke organ lain, berpotensi meningkatkan risiko sejumlah jenis penyakit tidak menular. Terkait penyakit gusi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi 1,5 miliar orang yang mengalami penyakit gusi parah (periodontitis) pada 2050, dan 660 juta orang kehilangan gigi mereka.
Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Vietnam, adalah salah satu wilayah yang memiliki prevalensi periodontitis tertinggi secara global dengan sekitar 6,6 juta kasus baru. Menurut data dari Program Cek Kesehatan Gratis Kemenkes RI yang telah menjangkau 63,5 juta penduduk, masalah gigi masuk dalam 5 tertinggi yang ditemukan pada seluruh kelompok usia.
Tak bisa dianggap sepele, penyakit gusi dapat mempengaruhi kesehatan tubuh secara menyeluruh karena meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti diabetes dan jantung.
Menurut dr. Dicky Levenus Tahapary, Sp.PD-KEMD, Ph.D., Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Endokrinologi, Metabolik, dan Diabetes dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia inflamasi/peradangan gusi bisa memicu peradangan sistemik dalam pembuluh darah akibat banyaknya bakteri bersifat patogen dalam rongga mulut.
“Bakteri penyebab penyakit gusi dapat masuk ke aliran darah dan menyebabkan peradangan di jantung dan pembuluh darah sehingga berkontribusi pada faktor risiko penyakit jantung seperti penyumbatan pembuluh darah, penyakit arteri koroner, stroke, dan infeksi pada lapisan dalam jantung,” tutur dr. Dicky di acara Indonesia Hygiene Forum 2025 di Jakarta, baru-baru ini.

Dia menyoroti kaitan penyakit gusi dengan diabetes melitus tipe 2. “Penyakit diabetes, terdapat hubungan dua arah yang terbilang unik: diabetes meningkatkan risiko penyakit gusi karena kadar gula darah tinggi mendorong pertumbuhan bakteri, sementara infeksi gusi juga dapat mempersulit kontrol gula darah,” kata dr. Dicky.
Sebuah studi menunjukkan bahwa penderita diabetes, terutama diabetes tipe 2, memiliki risiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk menderita keparahan penyakit gusi. Pasien diabetes menunjukkan kedalaman poket gusi yang lebih dalam, resesi gusi, dan kehilangan perlekatan yang lebih parah dibandingkan pasien bukan diabetes.
Lebih lanjut dr. Dicky mengungkap, pasien lansia dengan infeksi mulut juga ditemukan adanya infeksi paru. “Kasusnya tinggi sekali. Jika infeksi mulut tidak diobati, infeksi paru akan berulang,” tuturnya.’
Dia juga mengingatkan, infeksi di mulut bisa memicu komplikasi kehamilan, seperti persalinan prematur, preeklampsia hingga berat badan lahir rendah (BBLR), karena kuman berbahaya di mulut masuk ke aliran darah dan memengaruhi janin atau ibu.
Pembunuh senyap yang masih terabaikan
Di kesempatan sama, Prof. Dr. Amaliya, drg., M.Sc., Ph.D., Guru Besar Ilmu Periodonsia dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran mengungkap penyakit gusi merupakan ‘silent killer’ alias pembunuh senyap karena di tahap awal peradangan gusi/gingivitis umumnya gejalanya muncul secara samar dan tidak menimbulkan rasa sakit.
“Di tahap lanjutan, peradangan pada jaringan pendukung gigi yang lebih parah/periodontitis, yang biasanya bersifat irreversible, kerusakan sudah sampai ke tulang, di mana gigi menjadi goyang dan akhirnya tanggal,” ujar Prof. Amaliya.
Menurutnya, ada sejumlah faktor risiko yang mempengaruhi tingginya angka penyakit gusi di Indonesia antara lain adalah rendahnya literasi kesehatan gigi dan mulut, kebiasaan merokok yang masih tinggi, pola makan buruk seperti defisiensi vitamin E, vitamin C, dan zinc. Selain itu, konsumsi gula tinggi, dan tantangan sistem kesehatan, khususnya jumlah tenaga ahli yang terbatas, juga menjadi faktor yang berperan.

Karena kesadaran yang rendah, kebanyakan penderita penyakit gusi datang ke dokter gigi dalam tahapan periodontitis, sehingga membutuhkan perawatan yang lebih kompleks dan mahal. “Kondisi ini sangat berdampak terhadap produktivitas masyarakat dan menimbulkan kerugian ekonomi yang masif,” imbuhnya.
WHO memperhitungkan, beban kerugian produktivitas akibat masalah gigi dan mulut di Indonesia – termasuk penyakit gusi – mencapai US$3.213 juta atau Rp53,3 triliun per tahun.
Adapun total pengeluaran negara untuk pelayanan kesehatan gigi dan mulut tercatat sudah mencapai US$267 juta atau Rp4,46 triliun per tahun. Di sisi lain pengeluaran per tahun masyarakat Indonesia untuk perawatan gigi dan mulut ternyata hanya US$1 atau Rp16.600 per kapita.
Terkait dengan penyakit gusi, dr. Elvieda Sariwati, Direktur Promosi Kesehatan dan Kesehatan Komunitas Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengakui kebiasaan masyarakat dalam menjaga kesehatan gigi dan gusi masih perlu ditingkatkan. “Perlu kolaborasi lintas pihak dalam mencegah dan mengatasi permasalahan kesehatan gigi dan mulut melalui edukasi berkelanjutan,” tandasnya. (BS)