Berandasehat.id – Kanker masih menjadi penyakit yang bikin merinding. Jika terlambat ditangani, penyakit ini bisa engancam nyawa. Sekitar 70% pasien kanker meninggal atau bangkrut setahun setelah diagnosis. Data  Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyebut bahwa beban penyakit kanker lebih besar dibandingkan total beban penyakit tuberkulosis, HIV dan malaria. Ini merupakan tantangan penanggulangan kanker bagi semua pihak terkait.

Jika untuk tuberkulosis, HIV dan malaria pemerintah sudah memiliki program nasional, maka seharusnya kanker juga memiliki program pengendalian kanker yang komprehensif, yang meliputi kebijakan pencegahan, akses diagnosis dan pengobatan, perawatan paliatif sesuai kebutuhan medis serta pendataan, diikuti dengan penentuan prioritas program dan rencana implementasi yang jelas dan terukur.

Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) telah terbukti meningkatkan akses layanan kesehatan bagi ratusan juta orang dalam hampir delapan tahun. Sistem JKN dirancang untuk memastikan setiap orang yang terkena musibah sakit dapat memperoleh pengobatan sampai sembuh tanpa memandang latar belakang sosial ekonomi. 

“Orang kaya, orang miskin, orang Indonesia atau bahkan orang asing yang legal tinggal di Indonesia harus mendapat layanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya. Orang yang menderita sakit ringan atau berat seperti kanker, harus mendapat pengobatan sampai sembuh, penyakitnya terkendali, tidak menimbulkan komplikasi, dan jika sudah terjadi gangguan fungsi tubuh perlu mendapat rehabilitasi. Itulah prinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab,“ ujar Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DR.PH, Ketua InaHEA (Indonesian Health Economics Association) dalam diskusi daring yang dihelat oleh Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC), organisasi pasien dan relawan kanker, Kamis (28/10).

“Sakit kanker adalah suatu musibah berat bagi yang mendapat cobaan Tuhan melalui kanker. Pengobatannya memang ada yang mahal dan ada yang relatif murah. Program JKN menjamin semua obat yang secara medis efektif tetapi secara ekonomis yang harganya lebih murah dari pilihan obat yang ada,” ujar Prof Hasbullah.

Dia menambahkan, sayangnya, hal ini belum cukup dipahami pihak penentu kebijakan maupun pihak pasien. Banyak penentu kebijakan yang masih memiliki keliru paham, seolah penyakit kanker adalah penyakit terminal –mematikan dan pengobatannya sangat mahal serta berpendapat bahwa JKN seharusnya tidak menanggung biaya pengobatan kanker.

“Ini pendapat keliru. Meskipun biaya pengobatan kanker mencapai satu miliar rupiah, JKN harus bisa menjamin karena persentase orang yang sakit kanker relatif sedikit, sehingga jika biaya digotong bersama (gotong royong) tidaklah berat. Ini prinsip penting jaminan/asuransi,” ujarnya.

Prof. Hasbullah juga menegaskan, pasien juga harus memahami bahwa tidak semua obat yang ia atau dokter yang mengobati “inginkan” dapat dijamin. “Program JKN menjamin obat yang “dibutuhkan”, bukan “yang diinginkan”. Tugas dokter adalah mencari pilihan obat dan prosedur pengobatan kanker yang paling efektif-biaya — efektif dengan biaya termurah. Itulah yang perlu dijamin JKN, agar uang bersama (Dana Amanat JKN) dapat digunakan untuk semua orang yang sakit kanker,” terangnya.

Dia menyoroti, pemerintah masih belum sadar penuh untuk memenuhi kebutuhan dana bagi semua orang. Banyak pejabat pemerintah yang masih belum cukup paham bahwa negeri ini sesungguhnya mampu menjamin semua penderita kanker mendapat pengobatan yang berkeadilan, tidak melihat harga satu obat atau layanan, tetapi melihat kebutuhan orang dan membagi kontribusi harga pengobatan kanker kepada semua penduduk. Indonesia sesungguhnya mampu, tetapi sebagian pejabat belum punya pola pikir yang cukup.

“Dengan demikian, beban penyakit kanker bisa dikendalikan. Yang diperlukan adalah kemauan politik dan komitmen dari semua pihak khususnya Pemerintah untuk menjadikan kanker sebagai program prioritas, dan revisi JKN adalah peluang untuk memprioritaskan kanker,“ imbuh Ketua Umum CISC, Aryantthi Baramuli Putri. (BS)