Berandasehat.id – Perusahaan bioteknologi asal Jerman BioNTech dan raksasa farmasi AS Pfizer – yang bersama-sama mengembangkan vaksin COVID-19 dalam waktu singkat – mengumumkan tengah mengembangkan vaksin herpes zoster menggunakan teknologi mRNA yang sama.
Sementara itu Moderna mengumumkan telah memberi dosis kepada relawan pertamanya untuk vaksin melawan virus Epstein-Barr (EBV), penyebab mononukleosis.
Ketiga perusahaan memanfaatkan teknologi mRNA yang sama yang digunakan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 dalam momen terobosan potensial untuk pengobatan modern.

Pfizer dan BioNTech menandatangani kesepakatan kemitraan dan bermaksud melakukan uji klinis uji klinis pada paruh kedua tahun 2022.
“Kolaborasi ini bertujuan untuk mengembangkan vaksin berbasis mRNA baru terhadap herpes zoster, memanfaatkan keahlian dan sumber daya dari kedua perusahaan,” kata CEO dan salah satu pendiri BioNTech, Ugur Sahin.
Metode messenger RNA memulai debutnya dengan vaksin coronavirus Pfizer-BioNTech, yang merupakan suntikan pertama terhadap COVID yang disetujui di Barat pada akhir 2020.
Herpes zoster adalah penyakit umum di seluruh dunia yang disebabkan oleh reaktivasi virus yang sama yang menyebabkan cacar air.
Herpes zoster atau shingles dapat menyebabkan bercak kulit yang sangat menyakitkan, dan dalam kasus yang jarang terjadi bisa memicu kelumpuhan wajah, tuli, dan kebutaan.
Meskipun saat ini ada vaksin yang disetujui untuk herpes zoster, Pfizer dan BioNTech mengatakan mereka ingin mengembangkan vaksin yang lebih baik yang berpotensi menunjukkan khasiat tinggi dan tolerabilitas yang lebih baik.
Vaksinasi virus corona yang dikembangkan oleh biotek AS Moderna bersama dengan lembaga pemerintah AS National Institutes of Health (NIH) juga menggunakan teknologi mRNA.
Moderna mengatakan pihaknya telah memberikan dosis pertama dari 270 peserta berusia 18-30 tahun dalam uji klinis untuk vaksin melawan EBV, yakni virus yang saat ini belum ada vaksinnya yang disetujui.
EBV sangat umum, diperkirakan menginfeksi lebih dari 80 persen orang Amerika pada usia 19 tahun. Penyakit ini menyebar melalui cairan tubuh, seperti air liur, dan biasanya tertular pada masa kanak-kanak atau remaja.
Infeksi selama masa remaja lebih bergejala, dan dapat menyebabkan infeksi mononukleosis (IM), kadang-kadang disebut ‘penyakit berciuman’ suatu kondisi yang dapat menyebabkan demam, kelelahan, sakit tenggorokan dan pembengkakan kelenjar getah bening.
Pasien dalam beberapa kasus dapat terpengaruh selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, terkadang memerlukan rawat inap. EBV juga merupakan ‘virus laten’ yang dapat diaktifkan kembali dalam kasus yang jarang terjadi.
Para ilmuwan percaya bahwa vaksin mRNA, yang memicu respons imun dengan mengirimkan molekul genetik yang mengandung kode untuk bagian-bagian penting dari patogen ke dalam sel manusia, bisa menjadi pengubah permainan melawan banyak penyakit.
Mereka juga membutuhkan waktu lebih sedikit untuk dikembangkan dibandingkan vaksin tradisional, yang umumnya didasarkan pada patogen yang tidak aktif, atau bentuk mikroba yang hidup tetapi dilemahkan.
BioNTech juga sedang mengerjakan vaksin malaria berbasis mRNA yang didukung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Afrika dan Uni Eropa, dengan uji coba yang akan dimulai pada akhir 2022.
Pfizer sedang mengembangkan suntikan flu mRNA, seperti halnya Moderna. Selain itu, Moderna juga sedang mengembangkan vaksin melawan HIV dan flu, demikian MedicalXpress. (BS)