Berandasehat.id – Salah satu kriteria pertumbuhan anak yang optimal adalah tinggi badan sesuai dengan tahapan usia. Saat tinggi badan anak lebih rendah dari rata-rata anak seusianya, orang tua langsung khawatir apabila anaknya mengalami stunting. Padahal tidak semua anak pendek adalah stunting, tetapi anak stunting sudah pasti pendek
Disampaikan dr. Dana Nur Pribadi, Sp.A(K), untuk memastikan anak mengalami stunting atau pendek, orang tua sebaiknya rutin memeriksakan kesehatan anaknya di fasilitas kesehatan. Pada saat kontrol, anak akan diukur tinggi dan berat badannya. “Pengukuran harus dilakukan dengan baik, tanpa alas kaki dan tutup kepala. Setelah itu, dibandingkan berat badan terhadap tinggi badan apakah proporsional atau tidak. Kalau tinggi anak di bawah minus 2 berarti anak pendek, tetapi belum tentu stunting,” ujarnya.
Dokter anak ahli endokrinologi itu menambahkan, harus dicari tahu penyebabnya dengan melakukan anamnesis. Dalam hal ini dokter akan bertanya mengenai faktor lingkungan seperti polusi dan asap rokok, faktor nutrisi. “Nutrisinya cukup atau tidak, apakah nutrisinya cukup tetapi komposisinya tidak seimbang, nutrisinya berlebihan, apakah ada penyakit infeksi kronis, apakah ada tuberkulosis, keganasan, atau thalassemia,” ujar dr, Dana di acara #GoodTalkSeries yang dihelat Good Doctor bekerja sama dengan IDAI Perwil BODEMI (Bogor, Depok, dan Sukabumi) dan Sari Husada baru-baru ini.

Stunting disebabkan oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat atau gangguan kronik yang menyebabkan asupan nutrisi tidak bisa diserap dengan baik oleh tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan.
“Perbedaan stunting dengan tubuh pendek yang lain bisa dilihat dari berbagai faktor, seperti suatu sindrom, kelainan tulang, gangguan hormon atau genetik. Tubuh pendek yang disebabkan oleh faktor-faktor itu bukan stunting,” terang dr. Dana.
Stunting Turunkan Produktivitas
Stunting tidak sekadar masalah tinggi badan. Stunting menjadi masalah serius karena berdampak pada perkembangan kognitif anak yang pada akhirnya memengaruhi kehidupan berbangsa baik dari sisi produktivitas maupun perekonomian negara.
Anak dengan pertambahan tinggi yang tidak sesuai dengan standar WHO berisiko 4,1 kali mengalami perkembangan kognitif yang terlambat. Hal ini berarti bahwa pemenuhan kebutuhan gizi yang baik sehingga mengalami pertambahan tinggi badan yang baik akan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif yang normal.
Menurut perkiraan Bank Dunia, 1% kehilangan tinggi badan orang dewasa karena stunting pada masa kanak-kanak dikaitkan dengan hilangnya 1,4% dalam produktivitas ekonomi dan stunting dapat mengurangi produk domestik bruto suatu negara hingga 3%.
Studi mengenai potensi perkembangan dalam 5 tahun pertama kehidupan anak-anak di negara-negara berkembang yang dipublikasikan di The Lancet menunjukkan anak-anak yang stunting, pada saat dewasa berpenghasilan 20% lebih sedikit dibandingkan dengan individu yang tidak stunting.
Sebuah studi mengenai potensi kerugian ekonomi akibat stunting pada balita di Indonesia tahun 2013 oleh IPB menunjukkan besar potensi kerugian secara nasional pada balita stunting sekitar Rp3.057 miliar hingga Rp13.758 miliar atau 0,04-0,16% dari total PDB Indonesia.
Potensi kerugian ekonomi karena stunting pada balita di Indonesia mencapai Rp 1,7 juta/orang/tahun atau Rp71 juta/orang selama 49 tahun (usia produktif 15—64 tahun) berdasarkan BPS Tahun 2014.
1000 HPK Krusial
Stunting tidak terjadi begitu saja, melainkan dimulai dari janin hingga sang anak menginjak usia 2 tahun. Dengan kata lain, 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak menjadi sangat krusial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pada periode ini otak dan sinaps-sinapsnya berkembang pesat. Oleh karena itu, anak jangan sampai kekurangan nutrisi.
Apabila anak diketahui stunting setelah melewati 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK), sebut dr Dana, untuk masalah kognitif akan sangat berat untuk diperbaiki, tetapi apa yang masih bisa diperbaiki akan diperbaiki.
Dikatakan dr. Dana, sebenarnya, stunting dapat dicegah sebelum kehamilan, misalnya ibu hamil saat sudah dewasa, bukan anak-anak atau remaja. “Hal ini berhubungan dengan usia saat menikah sehingga bukan saja organ reproduksi sudah siap, tetapi ibu juga sudah siap secara mental dan keluarga sudah siap secara ekonomi,” ujarnya.
Sedangkan saat hamil, kebutuhan nutrisi ibu harus terpenuhi dengan baik seperti gizi mikro, zat besi, dan asam folat. Saat hamil, ibu tidak boleh terpapar asap rokok, dan faktor infeksi wajib diperhatikan.
Setelah bayi lahir, diberi ASI eksklusif, diberi MPASI yang baik dengan gizi seimbang, imunisasi sesuai dengan jadwal, serta menyediakan lingkungan yang bersih, aman, dan sehat bagi anak. Intinya, bayi yang lahir dari ibu yang siap dan sehat, diawasi serta diberikan hak dengan baik, akan mencegah stunting.
Pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap stunting. Angka kejadian stunting di Indonesia cenderung menurun. Pencapaian rata-rata per tahun penurunan stunting sebesar 2,0% (2013—2021) dengan angka prevalensi stunting tahun 2021 berdasarkan hasil survei Status Gizi Indonesia (SGI) sebesar 24,4%. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kementerian Kesehatan 2020—2024, yakni target 14% pada 2024.
Untuk mencapai target itu, berarti setiap tahun harus terjadi penurunan sebesar 2,7%. Oleh karena itu, pemerintah melakukan dua intervensi, yaitu intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Intervensi spesifik dilakukan di sektor kesehatan yang berfokus pada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) dan kepada ibu sebelum dan di masa kehamilan sedangkan intervensi sensitif merupakan kerja sama lintas sektor.
Stunting harus ditekan serendah mungkin karena berdampak pada jangka pendek dan panjang. Dalam jangka pendek, stunting akan menyebabkan terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, dan gangguan tumbuh kembang. “Dalam jangka panjang, perkembangan kognitif anak menurun, rentan terkena penyakit metabolik, penyakit jantung serta pembuluh darah, dan secara makro ekonomi, pendapatan dan produktivitas negara mengalami penurunan,” tandas dr. Dana. (BS)