Berandasehat.id – Selama beberapa dekade, gambar ultrasound telah banyak digunakan untuk skrining janin terhadap sindrom Down karena metode ini aman, nyaman, dan berbiaya rendah. Namun, menggunakan indikator USG umum, akurasi deteksi kurang dari 80% dalam pemeriksaan USG yang sebenarnya.
Metode invasif seperti biopsi vili, amniosentesis, dan pungsi vena umbilikalis janin juga biasa digunakan untuk mendeteksi sindrom Down.
Down syndrome, juga dikenal sebagai Trisomi 21, adalah kelainan kromosom yang paling umum menyebabkan keterlambatan perkembangan dan cacat intelektual, dan dapat diidentifikasi sejak dalam rahim. Banyak ibu hamil berusaha untuk menentukan apakah janin mereka memiliki kelainan ini.

Kini, para peneliti dari Institute of Automation of the Chinese Academy of Sciences (CASIA) telah mengembangkan model prediksi cerdas untuk mencapai skrining sindrom Down non-invasif menggunakan pencitraan ultrasound. Karya ini diterbitkan di JAMA Network Open pada 21 Juni 2022.
Pada studi terkini, para peneliti mengembangkan jaringan saraf convolutional (CNN) untuk membangun model pembelajaran mendalam (DL) yang dapat mempelajari fitur representatif dari gambar ultrasound yang bertujuan mengidentifikasi janin dengan sindrom Down.
CNN adalah algoritma pembelajaran mendalam yang dapat mengambil gambar input, menetapkan kepentingan (yaitu, bobot dan bias yang dapat dipelajari) untuk berbagai aspek/objek dalam gambar dan membedakan satu dari yang lain.
CNN dapat memiliki puluhan atau ratusan lapisan tersembunyi. Lapisan pertama mempelajari cara mendeteksi tepi dan lapisan terakhir mempelajari cara mendeteksi bentuk yang lebih kompleks. Penelitian ini melibatkan 11 lapisan tersembunyi.
Untuk lebih menginterpretasikan model DL dalam bentuk yang dapat dibaca manusia, para peneliti juga menggunakan peta aktivasi kelas (CAM) untuk menjelaskan apa yang menjadi fokus model dan bagaimana hal itu secara eksplisit memungkinkan CNN untuk mempelajari fitur diskriminatif untuk skor risiko.
Para peneliti menggunakan gambar ultrasound dua dimensi dari bidang midsagital dari wajah janin antara 11 dan 14 minggu kehamilan. Setiap gambar tersegmentasi dengan kotak pembatas untuk menunjukkan hanya kepala janin.
Studi ini melibatkan total 822 kasus dan kontrol, dengan 550 peserta di set pelatihan dan 272 peserta di set validasi.
Para peneliti menemukan bahwa lima tingkat pertama dari peta fitur yang divisualisasikan oleh CAM dengan jelas menunjukkan proses pembelajaran fitur yang representatif. CAM yang diterapkan pada lapisan terakhir menunjukkan wilayah respons yang divisualisasikan untuk pengambilan keputusan model.
“Model skrining non-invasif yang dibuat untuk sindrom Down pada awal kehamilan ini secara signifikan lebih unggul daripada penanda pelabelan manual yang umum digunakan, meningkatkan akurasi prediksi hingga lebih dari 15%,” ujar Tian Jie, penulis studi. “Ini juga lebih unggul daripada metode skrining invasif konvensional saat ini untuk sindrom Down berdasarkan serum ibu.”
Diyakini, model yang diusulkan itu akan menjadi alat skrining non-invasif, murah, dan nyaman untuk mendeteksi sindrom Down pada awal kehamilan. (BS)