Berandasehat.id – Stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita dipicu oleh banyak hal, salah satunya adalah kurangnya kecukupan gizi anak pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Intervensi gizi terhadap anak yang memiliki risiko stunting, seperti bayi prematur dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) menjadi penting dilakukan.
Umumnya stunting terjadi di 1000 HPK yaitu, 20% terjadi sejak saat kelahiran, 20% terjadi pada 6 bulan pertama, 50% terjadi pada 6-24 bulan, 10% terjadi pada tahun ketiga, dan 20% stunting yang terjadi sejak saat kelahiran dialami oleh bayi prematur dan BBLR.
Dokter anak konsultan neonatologi, Prof. Dr. dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp. A(K) menguraikan bayi dengan kelahiran prematur dan BBLR masuk ke dalam bayi yang berisiko tinggi mengalami stunting. Perlu diketahui, Indonesia menempati peringkat ke–5 tertinggi angka kelahiran prematur dan BBLR.

Data menyebut, dari 100 bayi yang lahir, terdapat 10 bayi lahir secara prematur dan 7 bayi dengan kondisi BBLR. “Berdasarkan penelitian di 137 negara berkembang, 35% kasus stunting disebabkan oleh kelahiran prematur 4 dan 20% kasus stunting di Indonesia disebabkan oleh BBLR,” ujar Prof Rina dalam temu media edukasi virtual yang dihelat Fresenius Kabi Indonesia, Senin (25/7/2022).
Bayi lahir prematur berisiko untuk mengalami keterlambatan perkembangan, gangguan kognitif, kesulitan belajar dan gangguan perilaku. “Oleh karena itu penting untuk melakukan skrining perkembangan pada usia 9,18, dan 30 bulan,” ujar Prof Rina.
Prof Rina menambahkan, anak stunting tidak kelihatan dengan mata telanjang. “Untuk tahu anak stunting atau tidak harus melalui pengukuran. Kalau sampai keliihatan dengan mata telajang berarti kondisinya sudah parah,” tandasnya.
Adapun cara mencegah kelahiran prematur dan BBLR bisa dengan mempersiapkan kehamilan yang sehat dengan melakukan pemeriksaan antenatal rutin dan persiapan pra-nikah. Nutrisi dan kesehatan ibu selama hamil penting untuk mencegah kelahiran prematur.
“Namun, jika bayi sudah terlahir prematur tenaga medis maupun fasilitas kesehatan harus dapat memberikan pertolongan awal dan selanjutnya melakukan perawatan bayi prematur secara baik,” tutur Prof Rina. “Pemberian ASI eksklusif juga sangat penting.”
Apabila bayi sudah stunting maka perlu dilakukan tata laksana gizi di rumah sakit dengan pemberian PKMK (Pangan Olahan untuk Kondisi Medis Khusus) makanan khusus atau dengan pemberian nutrisi parenteral (melalui infus).
Target Penurunan Stunting
Berdasarkan Survey Status Gizi Balita Indonesia 2021, angka prevalensi stunting turun menjadi 24,4% artinya hampir 1 dari 4 balita Indonesia mengalami stunting. Meskipun terjadi penurunan tapi angka tersebut masih jauh dari target pemerintah yaitu 14% pada 2024 sehingga perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan stunting.
“Penurunan stunting merupakan 1 dari 9 program kesehatan prioritas nasional. Upaya mencegah stunting dilakukan melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif,” terang Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan RI, dr. Erna Mulati, M.Sc, CMFM.
Erna menambahkan, intervensi spesifik terutama dilakukan pada 1000 HPK – bahkan jauh sebelum ibu hamil. Sedangkan intervensi sensitif dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan yang mendukung penurunan stunting dan dikoordinasikan oleh BKKBN.
Terdapat beberapa intervensi spesifik untuk mencegah stunting, yaitu pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri (rematri) 12-17 tahun; Pemeriksaan Hb bagi rematri (remaja putri) kelas 7 dan 10.; Pemeriksaan kehamilan sesuai standar menjadi 6 kali; Tablet tambah darah bagi ibu hamil minimal 90 tablet selama kehamilan; Pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil dengan kurang energi kronis; Pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan; Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita; Pemberian makanan tambahan bagi balita gizi kurang; Tata laksana balita gizi buruk; serta imunisasi dasar lengkap bagi seluruh balita.
Sementara itu, Direktur PT Fresenius Kabi Indonesia Herlina Harjono menyampaikan komitmen Fresenius Kabi untuk terus memperbaiki kualitas hidup masyarakat Indonesia, dalam hal ini mendukung pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi stunting di Indonesia dengan menyediakan solusi nutrisi parenteral agar nutrisi bayi prematur atau BBLR tercukupi.
“Melalui kegiatan edukasi ini, kami berharap masyarakat Indonesia dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya gizi pada bayi di 1000 HPK, dan dapat melakukan pencegahan dan penanganan stunting dengan baik,” tandas Herlina. (BS)