Berandasehat.id – Mencuatnya tingkat infeksi COVID-19 di sejumlah negara – termasuk Indonesia – yang disebabkan varian Delta yang lebih menular dibanding virus aslinya telah membuat orang bertanya-tanya, apakah vaksin COVID-19 yang tersedia efektif terhadap virus yang bermutasi? Karena Indonesia merupakan negara yang mengggunakan vaksin Sinovac dari Cina, wajar jika muncul pertanyaan seberapa efektif vaksin ini dalam melawan varian Delta, dibanding vaksin lain, misalnya Pfizer, Moderna, AstraZeneca bahkan Sinopharm.

Sinovac termasuk salah satu jenis vaksin yang uji klinisnya tidak banyak – hal ini menjadi perhatian ilmuwan Barat sehingga muncul kekhawatiran yang berkembang tentang apakah vaksin tersebut memberikan perlindungan yang cukup terhadap varian Delta, yang pertama kali diidentifikasi di India.
Berikut ini adalah pandangan dari pakar kesehatan Cina tentang efektivitas vaksin buatan negara asal wabah COVID-19 terhadap varian Delta, yang kini tercatat menjadi varian dominan secara global, dan langkah-langkah pencegahan virus yang diambil negara itu.
Hasil Uji Klinis Vaksin Sinovac Terbatas
Pakar dari Negara Tirai Bambu mengakui Cina belum memberikan hasil efektivitas vaksin terhadap varian berdasarkan data skala besar dalam uji klinis atau penggunaan di dunia nyata, atau menawarkan informasi terperinci dari tes laboratorium. Kurangnya data rinci tentang vaksin Cina terhadap Delta telah menghambat tinjauan sejawat yang penting oleh para ahli asing.
Meski belum memiliki uji klinis komprehensif, para peneliti menemukan bahwa vaksin Cina ‘agak efektif’ dalam mengurangi risiko kasus simtomatik (dengan gejala) dan parah yang disebabkan oleh Delta, demikian menurut Zhong Nanshan, seorang ahli epidemiologi yang membantu membentuk respons COVID-19 Cina, dikutip Reuters (29/6). Klaim Zhong itu didasarkan pada analisis infeksi di kota Guangzhou, namun dia mengatakan bahwa hasilnya masih awal dan ukuran sampelnya kecil.
Juru bicara Sinovac Liu Peicheng mengatakan kepada Reuters hasil awal berdasarkan sampel darah dari mereka yang divaksinasi dengan vaksin Sinovac menunjukkan pengurangan tiga kali lipat dalam efek penetral terhadap Delta. Liu mengatakan suntikan booster mengikuti dua rejimen berbasis dosis dapat dengan cepat menimbulkan reaksi antibodi yang lebih kuat dan lebih tahan lama terhadap Delta. Namun, Liu tidak memberikan data rinci dari efektivititas vaksin.
Sementara itu, Feng Zijian, mantan wakil direktur di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina, mengatakan antibodi yang dipicu oleh dua vaksin Cina kurang efektif melawan varian Delta dibandingkan dengan varian lainnya. Feng tidak memberikan rincian termasuk nama kedua vaksin tersebut.
Vaksinasi itu masih bisa memberikan perlindungan, karena tidak satu pun dari mereka yang divaksinasi di provinsi Guangdong selatan, di mana kasus pertama varian Delta di Cna ditemukan, mengalami gejala parah. Semua kasus yang parah berasal dari orang yang tidak divaksinasi.
Jin Dong-Yan, seorang ahli virologi di Universitas Hong Kong, mengatakan komentar Feng saja tidak cukup untuk mendukung klaim bahwa vaksin Cina efektif terhadap kasus yang parah, karena diperlukan lebih banyak data.
Reuters melaporkan, Indonesia – yang telah melaporkan rekor kasus harian dalam beberapa hai terakhir karena lonjakan varian Delta – ratusan pekerja medis terinfeksi oleh COVID-19 meskipun telah divaksinasi dengan suntikan Sinovac.
Data Efikasi Vaksin Pfizer dan AstraZeneca terhadap Varian Delta
Bagaimana dengan produk vaksin di luar Cina? Sebuah studi oleh Public Health England (PHE) menemukan pada Mei 2021 bahwa vaksin Pfizer-BioNTech efektif 88% terhadap penyakit simtomatik dari Delta dua minggu setelah dosis kedua. Angka ini dibandingkan dengan efektivitas 93% terhadap varian Alpha, yang pertama kali diidentifikasi di Inggris.
Sementara, dua dosis vaksin AstraZeneca 60% efektif melawan penyakit simtomatik dari Delta dibandingkan dengan efektivitas 66% terhadap Alpha, masih menurut laporan PHE. Tidak ada data substansial yang menunjukkan seberapa protektif vaksin COVID-19 dosis tunggal Johnson & Johnson (JNJ.N) dan para ahli penyakit menular AS mempertimbangkan perlunya suntikan booster menggunakan vaksin mRNA.
Kasus Varian Delta di Guangdong
Guangdong, pusat manufaktur dan ekspor utama Cina, menjadi klaster kasus Delta terbesar di negara itu sejak melaporkan infeksi varian Delta pertama yang ditularkan secara lokal pada Mei 2021. Infeksi Delta mencakup 146 kasus di ibu kota Guangdong, Guangzhou, dan beberapa kasus dari pusat teknologi selatan Shenzhen dan kota Dongguan di dekatnya. Tidak ada transmisi domestik baru dari varian apapun yang dilaporkan di provinsi tersebut mulai 22 Juni.
Guangdong, yang berpenduduk 126 juta orang, telah mempercepat upaya vaksinasinya sejak wabah tersebut, dengan memberikan 39,15 juta dosis pada 19 Mei, tetapi jumlahnya melonjak hingga 101,12 juta pada 20 Juni.
Guangzhou, Shenzhen, dan Dongguan dengan cepat menutup lingkungan tempat mereka yang terinfeksi dan kontak, meluncurkan beberapa putaran pengujian massal, mengikuti protokol kesehatan secara ketat.
Kota-kota itu juga mewajibkan mereka yang bepergian ke luar provinsi untuk menunjukkan bukti hasil tes COVID-19 negatif. Zhong, ahli epidemiologi, mengatakan bahwa tanpa tindakan pengendalian yang efektif, 7,3 juta orang di kota Guangzhou akan terinfeksi dalam 20 hingga 30 hari pertama setelah kasus awal. (BS)