Berandasehat.id – Ibu hamil disarankan untuk berhati-hati dalam mengonsumsi obat jenis apapun selama mengandung karena sejumlah obat dipandang memiliki dampak negatif bagi janin. Dalam tinjauan terhadap lebih dari 3 juta kehamilan, peneliti University of Florida menemukan 1 dari 16 wanita terpapar obat teratogenik berbahaya, yakni jenis obat yang dapat menyebabkan keguguran, cacat lahir, dan masalah kesehatan lainnya bagi janin.
Studi yang diterbitkan dalam American Journal of Obstetrics and Gynecology menyoroti perlunya wanita dan penyedia layanan kesehatan/dokter untuk hati-hati memeriksa obat yang diminum selama kehamilan.

“Jika sedang hamil, berencana untuk hamil, atau aktif secara seksual, wanita harus memahami risiko yang terkait dengan penggunaan obat teratogenik,” kata Almut Winterstein, Ph.D., R.Ph., penulis studi dan profesor Departemen Kebijakan Farmasi di UF College of Pharmacy, bagian dari UF Health.
“Bicarakan dengan dokter tentang obat-obatan yang dikonsumsi dan tinjau label obat untuk memastikan obat yang dipakai tidak membahayakan bayi yang belum lahir,” tambah Winterstein, yang juga memimpin Pusat Evaluasi dan Keamanan Obat UF.
Teratogen adalah zat yang mengganggu perkembangan normal janin. Ratusan obat tersebut telah diidentifikasi, termasuk obat untuk mengobati kejang, migrain, obesitas, jerawat, hipertensi, penyakit bipolar dan kanker.
Peneliti UF menyelidiki lebih dari 200 obat teratogenik dan mengevaluasi paparannya di antara 3,4 juta kehamilan yang diidentifikasi dalam basis data asuransi swasta nasional dari 2006 hingga 2017. Pajanan pralahir ditentukan oleh ibu yang mengonsumsi setidaknya satu obat teratogenik selama kehamilan.
Menggunakan basis data obat teratologi, obat-obatan dipisahkan menjadi dua kelas berdasarkan efek teratogenik yang diketahui. Sekitar 140 obat diketahui memiliki efek teratogenik yang pasti, dan 65 lainnya diidentifikasi memiliki efek teratogenik potensial.
Proporsi kehamilan dengan paparan teratogen tertentu sedikit menurun selama periode studi 12 tahun dari 1,9 persen menjadi 1,2 persen, sementara paparan teratogen potensial meningkat dari 3,4 persen menjadi 5,3 persen.
“Sementara penurunan tingkat paparan di antara obat-obatan teratogenik dengan risiko pasti cukup menggembirakan, peningkatan paparan obat-obatan dengan risiko potensial sebelum melahirkan memerlukan penilaian lebih lanjut,” kata Winterstein.
Studi ini juga meneliti usia dan risiko paparan kehamilan terhadap obat teratogenik dan menemukan remaja dan wanita berusia 40-an memiliki risiko terbesar. Winterstein mengatakan kedua kelompok ini diketahui memiliki lebih banyak kehamilan yang tidak diinginkan dan paparan obat mungkin tidak disengaja, yang menunjukkan perlunya informasi lebih lanjut tentang pengendalian kelahiran yang efektif dan keluarga berencana saat menggunakan obat teratogenik.
Peneliti UF secara khusus tertarik pada paparan kehamilan selama beberapa tahun terakhir, menyusul berlakunya Undang-Undang Amandemen FDA tahun 2007. Undang-undang tersebut memungkinkan Food and Drug Administration AS (Badan Administrasi Obat dan Makanan/FDA) guna meminta produsen obat untuk menerapkan evaluasi risiko dan strategi mitigasi untuk masalah keamanan obat-obatan tertentu dengan serius.
Strategi mitigasi tersebut dirancang untuk memperkuat perilaku penggunaan obat yang aman, seperti tes kehamilan sebelum pemakaian obat teratogenik dimulai, dan hanya beberapa obat yang memerlukan tindakan pencegahan keamanan ekstra ini.
Sebanyak 12 obat dengan protokol mitigasi dalam penelitian ini ditemukan jarang digunakan dan hanya berkontribusi pada sebagian kecil dari paparan kehamilan. Penulis studi menyimpulkan lebih banyak penelitian dan tindakan pengaturan diperlukan untuk mengoptimalkan penggunaan obat-obatan selama kehamilan.
“Ada banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi bukti yang tersedia mengenai risiko-manfaat banyak obat selama kehamilan, dan ketersediaan program mitigasi risiko yang memadai yang memastikan kehamilan tidak perlu terkena obat teratogenik,” kata Winterstein.
“Sementara itu, wanita dan dokter harus mengandalkan informasi tertulis yang diberikan tentang risiko teratogenik obat-obatan selama kehamilan,” imbuhnya.
Studi bertajuk ‘Paparan Prenatal terhadap Obat Teratogenik di Era Evaluasi Risiko dan Strategi Mitigasi (REMS)’ telah diterbitkan dalam American Journal of Obstetrics and Gynecology. (BS)