Berandasehat.id – Dalam riset terkini, peneliti menemukan hal menarik terkait fenomena Long COVID yang diperkirakan dialami sepertiga penyintas wabah. Kehadiran lebih dari lima gejala COVID-19 pada minggu pertama infeksi secara signifikan terkait dengan perkembangan Long COVID, terlepas dari usia atau jenis kelamin, menurut ulasan baru yang diterbitkan oleh Journal of Royal Society of Medicine.

Tinjauan oleh Kelompok Studi Therapies for Long COVID (TLC) yang dipimpin Universitas Birmingham, merangkum penelitian terkini tentang prevalensi gejala, komplikasi, dan manajemen Long COVID.

Data prevalensi yang dikumpulkan dalam ulasan menyoroti sepuluh gejala Long COVID yang paling umum. Dalam hal ini termasuk kelelahan, sesak napas, nyeri otot, batuk, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri dada, bau yang berubah, diare dan rasa yang berubah.

Ilustrasi penderita Long Covid (dok. istimewa)

Para peneliti mengidentifikasi dua kelompok gejala utama Long COVID yang terdiri dari kelelahan, sakit kepala, dan keluhan pernapasan bagian atas; dan mereka yang memiliki keluhan multi-sistem termasuk demam dan gejala gastroenterologi yang sedang berlangsung.

Penulis utama Dr. Olalekan Lee Aiyegbusi, Wakil Direktur di Pusat Penelitian Hasil Laporan Pasien (CPROR) Universitas Birmingham, mengatakan terdapat bukti bahwa dampak COVID-19 akut pada pasien, terlepas dari tingkat keparahannya, melampaui rawat inap di rumah sakit untuk kasus yang paling parah, hingga gangguan kualitas hidup, kesehatan mental, dan masalah pekerjaan yang berkelanjutan. 

Orang yang hidup dengan Long COVID umumnya merasa ditinggalkan dan ‘diabaikan’ oleh penyedia layanan kesehatan dan menerima saran yang terbatas atau bertentangan yang justru membingungkan. 

Lebih dari sepertiga pasien di salah satu rumah sakit penelitian yang termasuk dalam tinjauan melaporkan bahwa mereka masih merasa sakit atau dalam kondisi klinis yang lebih buruk pada delapan minggu daripada saat awal terpapar COVID-19.

Shamil Haroon, Dosen Klinis di Perawatan Primer dan Investigator Utama dari Studi TLC yang didanai NIHR/UKRI University of Birmingham berkomentar bahwa mekanisme biologis atau imunologis dari Long COVID, maupun alasan mengapa orang-orang tertentu lebih rentan terhadap efek ini, belum jelas, sehingga membatasi pengembangan terapi. “Sangat penting kita bertindak cepat untuk mengatasi masalah ini,” cetusnya dikutip MedicalXpress.

Dibandingkan dengan virus corona lainnya, para peneliti menduga bahwa dalam jangka panjang, pasien dengan Long COVID juga dapat mengalami lintasan penyakit yang serupa dengan pasien yang menderita SARS atau MERS, menunjuk pada analisis yang menunjukkan bahwa enam bulan setelah keluar dari rumah sakit, sekitar 25 % pasien yang dirawat di rumah sakit dengan SARS dan MERS mengalami penurunan fungsi paru dan kapasitas latihan.

Co-Principal Investigator TLC Study Melanie Calvert, Profesor Metodologi Hasil di University of Birmingham dan NIHR Senior Investigator, menyampaikan berbagai potensi gejala dan komplikasi yang mungkin dialami penderita Long COVID menyoroti perlunya pemahaman yang lebih dalam tentang kondisi klinis. “Ada kebutuhan mendesak untuk model perawatan yang lebih baik dan lebih terintegrasi guna mendukung dan merawat pasien dengan Long COVID untuk meningkatkan hasil klinis,” tandas Prof Calvert. (BS)