Berandasehat.id – Ilmuwan terus melakukan pencarian jawaban terhadap COVID-19 yang banyak menyimpan misteri. Studi terkini menemukan bahwa darah orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 menunjukkan sinyal kekebalan terhadap varian baru virus corona selama 11 bulan setelah infeksi, menurut sebuah riset skala laboratorium dari Oregon Health & Science University.
Studi tersebut, awalnya diposting ke server pracetak MedRxiv pada Juni 2021, dan kemudian diterbitkan dalam The Journal of Infectious Diseases 1 Desember 2021.
“Kami pikir hasil ini memberi kami alasan nyata untuk optimis,” kata penulis senior Bill Messer, M.D., Ph.D., asisten profesor mikrobiologi molekuler dan imunologi, dan kedokteran (penyakit menular) di OHSU School of Medicine. “Varian yang menjadi perhatian/mengkhawatirkan saat ini tidak mungkin benar-benar lolos dari sistem kekebalan orang yang telah pulih dari infeksi.”

Messer menekankan bahwa vaksinasi adalah perlindungan terbaik terhadap infeksi ulang, dan vaksin juga merupakan perlindungan terbaik bagi orang yang belum terinfeksi COVID-19 agar tidak terinfeksi atau sakit parah/meninggal karenanya.
Temuan baru itu melibatkan pengujian darah yang diambil dari 24 orang yang telah terinfeksi virus SARS-CoV-2, dengan tingkat keparahan mulai dari tanpa gejala hingga rawat inap di Rumah Sakit OHSU.
Para peneliti menemukan bahwa kasus tanpa gejala dan beberapa orang dengan gejala ringan tidak selalu memiliki antibodi spesifik SARS-CoV-2 dalam serum darah mereka.
Namun, para peneliti dapat mendeteksi sel kekebalan yang berpatroli (disebut sel memori B) yang diprogram untuk menghasilkan antibodi SARS-CoV-2 dalam darah semua orang yang diuji. Mereka menemukan bahwa sel B memori ini tidak hanya tampak bereaksi terhadap virus SARS-Co-V-2 tipe liar asli, tetapi mereka juga mengenali apa yang disebut varian yang menjadi perhatian.
Temuan menunjukkan bahwa perlindungan kekebalan dapat bertahan dalam jangka panjang yang berpotensi mencegah kebutuhan akan suntikan booster vaksin.
Penelitian ini adalah periode pasca infeksi terpanjang yang diukur hingga saat ini, yakni lebih dari 11 bulan. Namun, para peneliti mengatakan tidak mungkin untuk mengatakan secara pasti apakah respons sel B yang ditemukan dalam serum darah akan berkorelasi dengan respons imun efektif yang sebenarnya pada orang yang terpapar virus.
Para ilmuwan merangsang sel B untuk mengeluarkan antibodi, mensimulasikan infeksi berulang. Meskipun antibodi tampaknya mengenali varian, para peneliti tidak dapat mengatakan secara pasti apakah antibodi akan melindungi terhadap varian virus.
“Kami mungkin tidak memiliki cukup data longitudinal pada saat ini,” kata rekan penulis Zoe Lyski, seorang mahasiswa pascasarjana di lab Messer di OHSU dan penulis utama studi tersebut.
“Data ini memungkinkan kita untuk berpikir optimis tentang penanganan varian. Ini menunjukkan bahwa jika seseorang terkena varian yang menjadi perhatian, sel B memori yang dihasilkan oleh vaksinasi atau infeksi alami siap untuk menanggapi,” tandas Zoe Lyski. (BS)