Berandasehat.id – Kegemukan bukan hanya tidak elok secara estetik, namun juga mendatangkan masalah kesehatan. Penelitian baru yang dipresentasikan di European Congress on Obesity (ECO) di Maastricht, Belanda (4-7 Mei 2022), menemukan bahwa wanita dengan obesitas dan kelebihan berat badan, terutama wanita dengan lingkar pinggang besar, lebih rentan mengalami patah tulang dibandingkan mereka yang memiliki bobot normal.
Namun menariknya, pada pria, kekurangan berat badan, bukan kelebihan berat badan, dikaitkan dengan risiko patah tulang yang lebih besar.
Obesitas telah lama dianggap membantu melindungi dari patah tulang. Ini karena beban mekanis pada tulang, yang meningkat seiring dengan berat badan, membantu meningkatkan kepadatan mineral tulang, penentu penting kekuatan tulang.

Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa hubungan antara obesitas dan risiko patah tulang bervariasi tergantung pada jenis kelamin, lokasi kerangka yang dipelajari dan definisi obesitas yang digunakan (indeks massa tubuh/BMI vs lingkar pinggang).
Untuk mengetahui lebih lanjut, Dr. Anne-Frederique Turcotte dari Unit Endokrinologi dan Nefrologi, Pusat Penelitian CHU de Quebec, Kota Quebec, Kanada, dan rekan, menganalisis data dari CARTaGENE, kohort prospektif berbasis populasi dari hampir 20.000 individu berusia 40-70 tahun dari Quebec, Kanada.
Peserta CARTaGENE dipilih secara acak antara tahun 2009 dan 2010, dinilai satu kali pada saat perekrutan dan diikuti melalui database administrasi perawatan kesehatan hingga Maret 2016.
BMI dan lingkar pinggang atau WC, ukuran obesitas perut, diukur pada perekrutan.
Fraktur/patah tulang diidentifikasi menggunakan algoritma yang telah divalidasi sebelumnya. Selama masa tindak lanjut rata-rata 5,8 tahun, 497 wanita dan 323 pria mengalami patah tulang (820/19.357 peserta).
Ada 415 fraktur osteoporosis mayor (MOFs—fraktur pinggul, tulang paha, tulang belakang, pergelangan tangan atau humerus), 260 pada wanita dan 155 pada pria.
Terdapat 353 fraktur ekstremitas bawah distal (bagian kaki di bawah lutut) (misalnya fraktur pergelangan kaki, kaki dan tibia atau tulang kering bagian bawah), 219 pada wanita dan 134 pada pria.
Ada 203 fraktur ekstremitas atas distal (lengan bawah dari siku ke bawah) (misalnya fraktur pergelangan tangan, lengan bawah atau siku),141 pada wanita dan 62 pada pria.
Catatan: Beberapa lokasi fraktur, seperti pergelangan tangan, termasuk dalam lebih dari satu kategori.
Pada wanita, lingkar pinggang yang lebih besar secara linier dikaitkan dengan peningkatan risiko patah tulang. Untuk setiap peningkatan 5 cm (dua inci) di lingkar pinggang, risiko patah tulang di tempat manapun adalah 3% lebih tinggi dan risiko patah tulang ekstremitas bawah distal adalah 7% lebih tinggi. Hubungan antara lingkar pinggang dan fraktur pergelangan kaki sangat kuat.
Pada wanita, BMI yang lebih besar dikaitkan dengan risiko fraktur ekstremitas bawah distal yang lebih besar. Dibandingkan dengan wanita dengan BMI 25 kg/m², mereka yang memiliki BMI 27,5-40 kg/m² menunjukkan risiko patah tulang ekstremitas bawah distal yang lebih besar.
Peningkatan risiko itu naik secara linier dari 5% pada mereka dengan BMI 27,5 kg/m², menjadi 40% pada mereka dengan BMI 40 kg/m².
Wanita dengan BMI 22,5 kg/m² memiliki risiko 5% lebih rendah mengalami patah tulang distal ekstremitas bawah dibandingkan dengan BMI 25 kg/m².
Hubungan Obesitas dan Patah Tulang Tidak Diketahui
Tidak diketahui mengapa obesitas dikaitkan dengan risiko patah tulang yang lebih tinggi pada wanita. Namun, sebagian besar patah tulang adalah akibat dari jatuh dan jatuh lebih sering terjadi pada orang dengan obesitas. Pergelangan kaki, tidak seperti pinggul dan tulang paha, tidak dilindungi oleh jaringan lunak, yang bisa membuatnya lebih rentan patah saat jatuh.
“Lingkar pinggang lebih terkait erat dengan patah tulang pada wanita daripada BMI. Ini mungkin karena lemak visceral, yakni lemak yang sangat aktif secara metabolik dan disimpan jauh di dalam perut, membungkus organ, mensekresi senyawa yang berdampak buruk kekuatan tulang,” ujar Turcotte dikutip MedicalXpress.
“Kita juga tahu bahwa orang dengan obesitas membutuhkan waktu lebih lama untuk menstabilkan tubuh mereka, ketika mereka tersandung, misalnya. Ini terutama terlihat ketika berat badan terkonsentrasi di bagian depan tubuh, menunjukkan bahwa individu dengan distribusi lemak tubuh di daerah perut mungkin berada pada risiko yang lebih tinggi untuk jatuh,” imbuh Turcotte.
Pada pria, peningkatan BMI dan lingkar pinggang tidak terkait secara signifikan dengan patah tulang. Namun, pria dengan berat badan kurang memiliki risiko lebih tinggi mengalami patah tulang distal ekstremitas atas dibandingkan dengan mereka yang memiliki berat badan normal. Pria dengan BMI 17,5 kg/m² dua kali lebih mungkin mengalami fraktur ekstremitas atas distal dibandingkan pria dengan BMI 25 kg/m².
Analisis disesuaikan untuk sejumlah pembaur potensial, mencakup usia, status menopause, etnis, status perkawinan, pendidikan, pendapatan, daerah tempat tinggal, status merokok, konsumsi alkohol, tingkat aktivitas fisik, asupan kalsium dan vitamin D tambahan, riwayat patah tulang dan komorbiditas dan obat-obatan yang diketahui mempengaruhi risiko patah tulang.
Penulis penelitian mengatakan temuan ini menunjukkan bahwa hubungan antara obesitas dan patah tulang adalah kompleks dan bervariasi menurut jenis kelamin. Pada wanita, ada hubungan linier antara lingkar pinggang dan kejadian patah tulang pada setiap dan pada ekstremitas bawah distal, terutama pada pergelangan kaki.
Hasil serupa diamati untuk wanita dengan BMI antara 27 dan 40 kg/m². Namun, pada pria, tidak ada hubungan antara obesitas dan risiko patah tulang, meskipun BMI dalam kisaran berat badan kurang dikaitkan dengan risiko patah tulang yang lebih tinggi.
“Temuan kami bahwa obesitas – khususnya, obesitas perut – terkait dengan risiko patah tulang yang lebih tinggi pada wanita memiliki implikasi kesehatan masyarakat yang besar,” ujar Dr Turcotte.
“Kita tahu bahwa individu dengan obesitas yang mengalami patah tulang lebih mungkin untuk memiliki masalah kesehatan lain yang dapat menyebabkan rehabilitasi lebih lambat, meningkatkan risiko komplikasi pasca operasi dan malunion (patah tulang yang mungkin tidak sembuh dengan baik), menghasilkan biaya perawatan kesehatan yang besar,” imbuhnya..
“Penuaan populasi dan meningkatnya insiden obesitas dapat menyebabkan meningkatnya angka patah tulang di tahun-tahun mendatang. Memahami mekanisme di mana wanita dengan obesitas, dan terutama dengan obesitas perut, lebih rentan terhadap patah tulang sangat penting jika kita ingin mengembangkan strategi pencegahan yang efektif,” pungkas Dr Turcotte. (BS)