Berandasehat.id – Long COVID itu nyata dan berdampak negatif pada kehidupan orang yang mengalaminya atau penyintas. Kali ini, para peneliti di Fakultas Kedokteran Universitas California San Diego sedang melakukan studi longitudinal untuk melacak gejala neurologis pada orang-orang yang mengalami COVID-19 lama.

Putaran pertama hasil studi telah diterbitkan 15 Juni 2022 di Annals of Clinical and Translational Neurology, mengungkap prevalensi berbagai gejala jangka pendek dan jangka panjang dan menemukan bahwa sementara banyak pasien menunjukkan perbaikan, mayoritas masih memiliki beberapa gejala neurologis setelah enam bulan. 

Sebagian individu juga menunjukkan masalah koordinasi dan kognitif/daya ingat yang signifikan, yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.

Ilustrasi penyintas Covid (dok. istimewa)

Setelah infeksi SARS-CoV-2 ringan hingga sedang, sebanyak 56 orang dengan gejala neurologis direkrut untuk penelitian antara Oktober 2020 dan Oktober 2021. Mereka menyelesaikan pemeriksaan neurologis, penilaian kognitif, kuesioner yang dilaporkan sendiri, dan pemindaian otak opsional. Pengukuran awal dilakukan beberapa bulan setelah infeksi awal dan diulang tiga dan enam bulan kemudian.

Pada saat kunjungan pertamanya,  89 persen responden melaporkan kelelahan dan 80 persen mengalami sakit kepala. Gejala neurologis umum lainnya termasuk gangguan memori, insomnia dan penurunan konsentrasi. Delapan puluh persen peserta mengatakan gejala ini mempengaruhi kualitas hidup mereka.

Ketika peserta kembali untuk tindak lanjut enam bulan selanjutnya, hanya sepertiga yang melaporkan resolusi gejala yang lengkap. Dua pertiga peserta lainnya melaporkan gejala neurologis yang persisten/terus menerus, meskipun sebagian besar telah berkurang tingkat keparahannya. Gejala yang paling umum pada enam bulan adalah gangguan memori dan penurunan konsentrasi.

Para penulis mencatat bahwa tidak ada individu dengan gejala persisten pada enam bulan yang memiliki riwayat kondisi neurologis yang sudah ada sebelum infeksi SARS-CoV-2 mereka.

“Ini kabar baik bahwa kebanyakan orang menunjukkan beberapa perbaikan pada enam bulan, tapi sayangnya itu tidak terjadi untuk semua orang,” kata penulis senior Jennifer S. Graves, MD, Ph.D., profesor di UC San Diego School of Medicine dan ahli saraf di UC San Diego Health dikutip dari laman MedicalXpress.

“Beberapa dari peserta ini adalah profesional tingkat tinggi yang kami harapkan mendapat skor di atas rata-rata pada penilaian kognitif, tetapi berbulan-bulan setelah COVID-19, mereka masih mendapat skor tidak normal,ā€ imbuhnya.

Para peneliti juga terkejut menemukan fenotipe baru dalam kohort. Tujuh persen peserta menunjukkan serangkaian gejala yang sebelumnya tidak teridentifikasi yang mencakup defisit kognitif, tremor/gemetar, dan kesulitan menyeimbangkan diri. 

Para penulis memberi label fenotipe Post-Acute Sequelae infeksi COVID-19 dengan Tremor, Ataksia, dan Defisit Kognitif (PASC-TAC).

“Ini adalah orang-orang yang tidak memiliki masalah neurologis sebelum COVID-19, dan sekarang mereka memiliki inkoordinasi (kesulitan koordinasi) tubuh dan kemungkinan inkoordinasi pikiran mereka,” kata Graves. “Kami tidak menyangka akan menemukan hal semacam ini, jadi kami ingin menyebarkan kabar jika dokter lain juga perlu melihat ini.”

Para peneliti masih menyelidiki seberapa banyak virus SARS-CoV-2 secara langsung menyerang otak, tetapi Graves mengatakan kemungkinan besar gejala neurologis yang tertunda ini disebabkan oleh infeksi yang memicu respons autoimun peradangan di otak.

Tim berencana untuk terus memantau gejala peserta setiap tahun hingga jangka 10 tahun. Upaya tambahan akan mengevaluasi bagaimana varian dan vaksin COVID-19 yang berbeda mempengaruhi gejala neurologis jangka panjang.

“Memiliki masalah daya ingat dan kualitas hidup orang yang masih terpengaruh begitu lama setelah infeksi adalah sesuatu yang kita sebagai masyarakat perlu perhatikan dengan serius,” kata Graves. 

“Kita masih perlu mengetahui seberapa umum hal ini, proses biologis apa yang menyebabkannya dan perawatan kesehatan berkelanjutan apa yang dibutuhkan orang-orang ini. Studi ini menjadi langkah pertama yang penting untuk mencapainya,ā€ tandas Graves. (BS)