Berandasehat.id – Temuan dari penelitian kecil terhadap delapan pasien yang diterbitkan di Clinical Infectious Diseases menunjukkan bahwa rebound (kekambuhan) COVID-19 kemungkinan tidak disebabkan oleh gangguan respons imun seperti yang diduga selama ini.
Studi yang dipimpin oleh para ilmuwan di National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), bagian dari National Institutes of Health, bermaksud menentukan perjalanan klinis dan karakteristik imunologis dan virologi dari rebound COVID-19 pada pasien yang telah memakai nirmatrelvir/ritonavir (Paxlovid), terapi antivirus yang dikembangkan oleh Pfizer, Inc.
Rebound COVID-19 ditandai dengan kambuhnya gejala COVID-19 dan/atau tes virus positif baru setelah dites negatif, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC). Menurut penulis, hasil studi tidak mendukung hipotesis bahwa pemberian Paxlovid selama lima hari terlalu singkat bagi tubuh untuk mengembangkan respons imun yang kuat terhadap SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan COVID-19.
Peserta dipilih dari orang dewasa yang terdaftar dalam studi COVID-19 yang sedang berlangsung di NIH Clinical Center di Bethesda, Maryland, dan rumah sakit lokal lainnya.

“Penelitian ini bertujuan untuk lebih memahami bagaimana SARS-CoV-2 mempengaruhi sel darah putih. Peserta memberikan darah dan sampel lain serta akses ke catatan medis COVID-19 mereka sebagai bagian dari penelitian,” ujar peneliti.
Studi untuk mengevaluasi rebound COVID-19 melibatkan enam peserta (tiga pria dan tiga wanita dengan usia rata-rata 42 tahun) yang menggunakan Paxlovid dalam waktu empat hari sejak timbulnya gejala awal dan kemudian mengalami gejala berulang; dua peserta (pria 54 tahun dan wanita 35 tahun) yang mengalami gejala berulang yang tidak menggunakan Paxlovid; dan kelompok kontrol enam orang yang memiliki COVID-19 tetapi tidak mengalami gejala rebound.
Semua peserta sebelumnya divaksinasi dan mendapatkan suntikan booster terhadap COVID-19, dan tidak ada yang mengembangkan penyakit parah yang memerlukan rawat inap selama infeksi akut atau rebound.
Para penyelidik mengumpulkan data tentang perjalanan klinis setiap peserta dan melakukan tes laboratorium pada sampel darah dan usap hidung.
Penyelidik tidak menemukan bukti mutasi genetik yang menunjukkan bahwa peserta yang mengalami rebound COVID-19 terinfeksi dengan varian SARS-CoV-2 yang resisten terhadap Paxlovid.
Mereka juga tidak menemukan bukti perkembangan antibodi yang tertunda pada peserta yang mengalami rebound setelah mengonsumsi Paxlovid. Penyelidik mendeteksi respons sel T SARS-CoV-2 yang kuat pada pasien yang pulih. Secara keseluruhan, tingkat respons sel T lebih besar pada pasien rebound dibandingkan pasien dengan COVID-19 akut awal yang tidak mengalami rebound. SARS-CoV-2 yang menular terdeteksi oleh kultur virus pada satu dari delapan peserta rebound.
Temuan menunjukkan bahwa gejala rebound sebagian dapat didorong oleh respons imun seluler yang kuat terhadap RNA virus residual (sisa virus) di seluruh saluran pernapasan, daripada respons imun yang terganggu yang memungkinkan replikasi virus, menurut penulis.
Studi epidemiologi yang lebih besar dan lebih rinci diperlukan untuk lebih memahami kepentingan klinis dan konsekuensi epidemiologis dari rebound COVID-19, kata para penulis, dikutip dari laman MedicalXpress. (BS)