Berandasehat.id – Sebuah tim peneliti di Tohoku University Graduate School of Medicine, bekerja sama dengan rekan dari Pusat Kanker Nasional Jepang, telah menemukan bahwa keberadaan Staphylococcus aureus pada kulit tikus percobaan dengan penyakit mirip lupus ditemukan memperburuk gejala penyakit.

Dalam makalah yang diterbitkan di jurnal Science Immunology, kelompok tersebut menjelaskan dampak bakteri pada tikus dengan sindrom Sjögren, penyakit autoimun yang ada pada model tikus lupus dan banyak pasien manusia.

Lupus dan sindrom terkait adalah kondisi jangka panjang yang sering melemahkan. Pasien biasanya menderita peradangan sistemik, nyeri sendi, kelelahan, rambut rontok, sensitivitas kulit dan kadang-kadang kegagalan organ. 

Tidak ada obatnya, tetapi banyak terapi telah dikembangkan untuk mengurangi gejala lupus. Penyakit ini diyakini berkembang ketika tubuh secara keliru menyerang beberapa selnya sendiri. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa infeksi bakteri, terutama pada usus, mungkin berperan dalam timbulnya penyakit. 

Dalam upaya baru ini, para peneliti menemukan bukti bahwa bakteri pada kulit mungkin juga berperan dalam perkembangannya.

Studi dimulai dengan mengumpulkan swab kulit dari model tikus sindrom Sjögren. Dalam mempelajari sampel, para peneliti menemukan peningkatan kadar Staphylococcus aureus — bakteri kulit yang umum. 

Melihat lebih dekat, mereka menemukan bahwa tingkat tinggi S. aureus mengakibatkan peningkatan produksi jenis sel darah putih yang disebut neutrofil, yang pada gilirannya menyebabkan kelebihan produksi perangkap ekstraseluler neutrofil. Perangkap semacam itu dibuat oleh tubuh untuk menjebak sel orang yang terinfeksi, menyebabkan peningkatan level peradangan karena naiknya produksi sitokin di kulit.

Para peneliti menemukan bahwa menghilangkan S. aureus dari kulit mengurangi gejala. Mereka juga menemukan bahwa peningkatan jumlah S. aureus pada kulit menyebabkan gejala yang lebih kuat, termasuk gagal ginjal. 

Tim peneliti mengakui bahwa mereka belum tahu apakah hal yang sama mungkin terjadi pada pasien manusia, tetapi mereka berencana untuk mencari tahu, demikian dilaporkan. Sains x Network. (BS)

Advertisement