Berandasehat.id – Orang yang terinfeksi cacar monyet dapat menyebarkan virus hingga empat hari sebelum gejala muncul, dengan lebih dari setengah penularan berpotensi terjadi selama periode ini, demikian menurut sebuah studi di Inggris.
Sementara temuan tersebut belum dikonfirmasi, tim peneliti menyarankan bahwa banyak infeksi cacar monyet tidak dapat dicegah dengan meminta pasien untuk mengisolasi begitu mereka menyadari bahwa dirinya memiliki virus.
Sejak Mei 2022, ketika virus tiba-tiba mulai menyebar di luar negara-negara Afrika Barat yang telah lama menjadi endemi, cacar monyet telah menewaskan 36 orang dari lebih dari 77.000 kasus, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun jumlah kasus terus menurun sejak mencapai puncaknya pada Juli, terutama di Eropa dan Amerika Utara, daerah yang paling terpukul pada tahap awal wabah global.
Studi baru yang diterbitkan dalam jurnal BMJ dilakukan di Inggris, negara pertama yang mendeteksi sekelompok kasus di luar Afrika pada Mei.
Para peneliti dari Badan Keamanan Kesehatan Inggris melihat data pelacakan kontrak dan kuesioner untuk 2.746 orang yang dites positif cacar monyet di negara itu antara Mei – Agustus.

Sekitar 95 persen dari peserta adalah laki-laki yang berhubungan seks dengan pria, sebuah komunitas yang sangat terpengaruh oleh wabah global.
Menganalisis data menggunakan dua model statistik yang berbeda, para peneliti menemukan bahwa dibutuhkan rata-rata hampir delapan hari untuk gejala muncul setelah pasien terpapar.
Jangka waktu tersebut biasanya lebih lama daripada waktu antara pasien pertama dan kasus kontak mereka menunjukkan gejala, yang disebut interval serial. “Interval serial median diperkirakan lebih pendek dari masa inkubasi, yang menunjukkan penularan pra-gejala yang jauh lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya,” studi menunjukkan.
Studi memperkirakan, lima puluh tiga persen kasus ditularkan sebelum orang tersebut memiliki gejala cacar monyet. Penularan terdeteksi maksimal empat hari sebelum gejala muncul,. Gejala cacar monyet termasuk demam, nyeri otot dan lesi kulit besar seperti bisul.
Boghuma Kabisen Titanji, pakar virus di Emory University di Amerika Serikat yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan analisis kuat itu menarik dan meyakinkan.
“Ini membutuhkan konfirmasi lebih banyak penelitian tetapi memiliki implikasi untuk strategi eliminasi penyakit berbasis vaksinasi yang harus dipertimbangkan secara serius,” tandasnya dilaporkan MedicalXpress. (BS)