Berandasehat.id – Indonesia masih menghadapi masalah nutrisi, yang berujung pada kurang terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat. Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada 2021 menyebut sebanyak 69,1% masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan bergizi. Dengan demikian, kecukupan gizi anak masih sangat jauh apabila asupan gizi keluarga secara umum juga belum terpenuhi. Padahal, kekurangan gizi menjadi faktor penyumbang angka stunting di Indonesia. 

Angka prevalensi stunting di tingkat nasional berdasarkan Survei Status Gizi Balita berada 24,4% pada tahun 2021, menurun dari 27.67% pada tahun 2019 menjadi 24,4% di tahun 2021.  Angka ini melebihi ketentuan yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu di bawah 20 persen. Dengan kata lain, stunting masih menjadi tantangan pemerintah karena target angka prevalensi stunting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yaitu sebesar 14% di tahun 2024.

“Ada sejumlah hal yang menjadi penentu kecukupan gizi masyarakat selain faktor ekonomi, yaitu pemahaman masyarakat terhadap gizi, akses masyarakat terhadap pangan bergizi, budaya dan kebiasaan serta kejujuran pemerintah akan data,” ujar Ketua Harian YAICI Arif Hidayat dalam paparan laporan jangkauan edukasi YAICI 2022 bersama PP Muslimat NU dan PP Aisyiyah di Jakarta, Senin (12/12/2022).

Untuk diketahui, sepanjang 2022, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) bersama dengan para mitra khususnya Majelis Kesehatan PP Aisyiyah dan PP Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan edukasi untuk meningkatkan literasi gizi masyarakat.

Arif mengatakan, upaya tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan keterpenuhan gizi masyarakat. Hingga akhir 2022. “Edukasi melibatkan kader kesehatan dari kedua organisasi perempuan tersebut telah menjangkau lebih dari 40.000 masyarakat di berbagai daerah,” ujarnya.

Lebih lanjut Arif mengungkap, selama ini kita selalu berlindung di balik alasan masyarakat kesulitan ekonomi sehingga tidak sanggup mencukupi gizi keluarganya. “Tapi di luar itu, ada hal-hal yang sebetulnya bisa kita lakukan untuk memperbaiki gizi masyarakat, salah satunya adalah meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Setidaknya, dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi, masyarakat dapat lebih memprioritaskan pengeluaran rumah tangganya,” bebernya.

Ada sejumlah temuan menarik di beberapa wilayah saat YAICI melakukan sosialisasi dan edukasi untuk kader kesehatan dan masyarakat. “Di Timur Tengah Selatan misalnya, kami mewawancarai keluarga-keluarga yang mengaku penghasilan keluarga tidak cukup untuk makan sehari-hari, tapi memberi jajan anak-anaknya bisa Rp10 ribu dalam sehari. Uang tersebut dibelikan makanan dan minuman ringan dengan perisa seperti sirop atau teh kemasan,” terang Arif.

Selain itu, sebut Arif, hal lain yang juga menjadi sorotan adalah ‘ketidakjujuran’ akan data status gizi masyarakat. “Kita temui daerah-daerah yang mengklaim penurunan angka stunting yang cukup tinggi. Kami selalu tanyakan apakah angka tersebut hasil pendataan riil di lapangan atau sekedar mengejar target yang ditetapkan. Mengingat, data-data dari masyarakat tersebut adalah dasar bagi pemerintah melakukan intervensi gizi untuk masyarakat. Jika angkanya dikecilkan, artinya ada masyarakat yang kehilangan haknya,” lanjutnya.

Pentingnya Literasi Gizi Masyarakat

Kesempatan sama, Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Chairunnisa  mengatakan, pada tahun 2022, Aisyiyah dan YAICI melakukan kolaborasi dengan penelitian yang menyasar ibu dan balita yang dilakukan oleh kader.  “Penelitian ini dibuat untuk lebih mendalami penyebab kejadian stunting. Dari hasil penelitian tersebut, kental manis masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat, terutama di remote area,” ujar Chairunnisa.

Berdasarkan studi Aisyiyah, faktor pemberian kental manis karena pemasukan bulanan mereka yang masih banyak di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Selain itu, ketersediaan kental manis yang dapat ditemukan dimana saja, murah dan mudah dijangkau membuat masyarakat mengonsumsinya.

“Fakta di lapangan seperti inilah yang menjadi dasar Aisyiyah untuk melakukan edukasi dan literasi terkait gizi. Banyak masyakarat daerah yang akhirnya menjadikan kental manis sebagai opsi untuk pemberian nutrisi gizi bagi anak. Literasi masih sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan terkait gizi dan stunting,” jelas Chairunnisa.

Lebih lanjut disampaikan, edukasi dilakukan dengan memberikan contoh nyata kepada masyarakat. “Misalnya melakukan demo masak makanan bergizi dan bernutrisi yang sesuai dengan kebutuhan usia anak. Menyusun menu MPASI dengan menggunakan bahan pangan lokal bergizi yang mudah diakses juga dilakukan,” imbuh Chairunnisa.

Hal senada disampaikan Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU, Erna Yulia Soefihara, sebagai bagian dari masyarakat, perlu adanya keterlibatan semua sektor dalam membantu program pemerintah terkait penurunan prevalensi stunting di Indonesia. “Persoalan-persoalan terkait gizi dapat dilakukan bersama dan pendekatan perubahan perilaku dilakukan dengan melibatkan banyak orang, salah satunya ibu muda dengan edukasi terkait asupan gizi,” ujanya.

Erna menambahkan, remaja putri, calon ibu, dan ibu muda perlu diedukasi  bahwa anak adalah investasi berharga. “Punya anak cerdas itu investasi di masa depan. Kita harus memberikan edukasi mengenai kebutuhan protein tinggi dan asupan gizi yang cukup,” tandasnya.

Agar stunting dapat diturunkan, Erna memandang perlu tentang pemahaman stunting. “Masyakat harus paham stunting dulu. Itu bukan semata kerdil karena faktor keturunan, tinggi dan berat badan tidak sesuai umur, namun juga berdampak pada perkembangan otak,” ujarnya.

Masalah stunting dimulai sejak 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan), yaitu sejak kehamilan hingga anak berusia 2 tahun. “Dibutuhkan protein tinggi dan gizi yang cukup bahkan sejak kehamilan dan diteruskan hingga anak lahir,” ujar Erna.

Erna menekankan, stunting sebaiknya dicegah sebelum pernikahan. “Dalam hal ini Kementerian Agama mensyaratkan calon pengantin harus melakukan imunisasi dan dibekali tentang kesehatan reproduksi,” urainya.

Selain itu, sebisa mungkin menunda pernikahan dini. “Anak yang menikah dini masih labil, secara fisik dan psikis belum siap. Pengetahuan mereka dalam pengasuhan anak, terutama terkait gizi, juga masih kurang. Itulah mengapa edukasi berkelanjutan penting Riset menunjukkan pengetahuan/literasi sangat menentukan ibu dalam menerapkan pola asuh yang benar,” tandas Erna.

Kiprah YAICI dalam Edukasi Gizi Masyarakat

Arif Hidayat menyampaikan, YAICI bersama para mitra telah melakukan edukasi dalam bentuk penyuluhan ke masyarakat, distribusi materi edukasi gizi, hingga optimalisasi edukasi melalui metode story telling. Selain melakukan penyuluhan langsung ke masyarakat, juga dilakukan pengumpulan data di lapangan terkait pengetahuan, pola konsumsi dan kebiasaan-kebiasaan yang mempengaruhi status gizi masyarakat. 

Temuan tersebut selanjutnya akan menjadi rekomendasi terhadap pemerintah dalam rangka penurunan prevalensi stunting dan peningkatan status gizi masyarakat.

Selain itu, YAICI juga berkolaborasi dengan sejumlah kampus dan universitas untuk menyelenggarakan edukasi gizi dengan menyasar mahasiswa. Lebih lanjut, YAICI bersama empat  universitas yaitu Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Negeri Semarang dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta juga melakukan penelitian bersama terkait gizi. 

“Kerja sama ini digagas sebagai bentuk dukungan YAICI terhadap dunia pendidikan dengan meningkatkan literatur dan kajian-kajian gizi masyarakat,” pungkas Arif Hidayat. (BS)

Advertisement